Malam ini rumah saya kebagian giliran untuk penyelenggaraan Doa Kumail. Sejak pagi, suami saya sudah ribut, “Mau bikin apa Mah?” Seperti biasa, saya jawab, “Beli aja Pah, ngapain susah-susah!” Si Papah yang suka gorengan protes, “Jangan dong! Bikin bakwan aja!” Kini, giliran saya yang protes, “Pah…rumah harus diberesin…kolnya belum beli…bikin bakwan gampang, emang?!” Akhirnya, dia mengeluarkan argumen yang sudah ratusan kali saya dengar, “Mah…bakwan itu favorit orang-orang…susah sedikit kenapa sih? Idkhalus-suruur fi quluubil mukminin (mendatangkan kesenangan di hati orang mukmin) itu pahalanya besar!”
Saat saya keluar rumah, Halimah, teman sekantor (Radio Cina) plus tetangga, datang tergopoh-gopoh membawa tiga butir semangka. Karena saya buru-buru harus mengantar Kirana, dia hanya sempat berkata, “Hari ini peringatan wafatnya ayah saya. Kamu malam ini jangan masak apa-apa ya, saya yang akan menyediakan semuanya.” Tentu saja saya senang mendengarnya, bebas tugas deh!
Di restoran kantor, saat makan siang, kami duduk semeja. Halimah bertanya, “Orang Indonesia suka masakanku nggak ya?” Saya jawab, “Iya, enak kok, mirip masakan Indonesia” (*ingat bakso, somay, dll*) . “OK kalau gitu, malam ini saya masak makaroni saja, ya, biar sekalian makan malam?”
Saya menatap ngeri, makan malam?! Buat 30 orang….?! Saya langsung protes, “Halimah, kita pulang kantor jam enam, kalau nggak macet setengah tujuh sampai rumah…berarti cuma ada waktu satu setengah jam buat masak! Sudahlah, beli kueh aja!” Halimah protes, “Aku sudah niat kok!” Lalu bla…bla..bla…dia menyampaikan presentasi tentang segala jenis makanan yang akan dia sediakan malam ini (mendengarnya saja saya sudah stress, gimana masaknya?!)
Wa…ini Cina satu kok persis kayak suamiku ya, lebih suka makanan bikin sendiri daripada beli? Jangan-jangan dia punya paham sama seperti suamiku, idkhalus-surur fi … Akhirnya saya pasrah, “Tanggung jawabnya sama kamu loh!”
Hasilnya, setelah acara diundur setengah jam, pukul 20.30 teng Halimah datang (siap dengan makan malam buat para tamu!). Para tamu pun sudah berdatangan (termasuk anak-anak yang biasanya berisik, kali ini duduk dengan manis…barangkali mereka tau, saya nggak segan mengusir mereka keluar kalau ribut
). Khusus kali ini (demi keselamatan ayahnya Halimah di alam baka), kami mendahului dengan membaca Quran masing-masing satu juz dan setelah itu, baru membaca doa.
Seperti biasanya, baru pembacaan kalimat awal doa saja, Halimah sudah langsung sesenggukan. (Apalagi sekarang, mungkin karena ingat pada ayahnya, tangisnya jadi agak lebih keras…sampai bapak-bapak saya lihat juga ikut nangis). Doa Kumail memang doa yang sangat indah dan menyentuh hati, sehingga aneh sekali bila ada yang tidak menangis bila membacanya (dan sayang sekali, seringkali saya termasuk orang-orang yang aneh itu! Astaghfirullah…)
Ya Allah…aku memohon kepada-Mu
dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu
dengan kekuasaan-Mu yang dengannya Engkau taklukkan segala sesuatu
dan karenanya, merunduk segala sesuatu
dan karenanya, merendah segala sesuatu
dengan kemuliaan-Mu yang mengalahkan segala sesuatu
dengan kekuatan-Mu yang tak terkalahkan oleh segala sesuatu,
dengan kebesara-nMu yang memenuhi segala sesuatu
….
Ampunilah dosa-dosaku yang meruntuhkan penjagaan
Ampunilah dosa-dosaku yang mendatangkan bencana
Ampunilah dosa-dosaku yang merusak karunia
Ampunilah dosa-dosaku yang menghalangi doa
….
Wahai Pemberi karunia, wahai Pe
melihara
Engkau mengetahui kelemahanku
Dalam menanggung sedikit dari bencana dan siksa dunia…
Padahal semua bencana ini hanya sebentar masanya
Maka, apakah mungkin aku sanggup menanggung siksa akhirat
yang panjang dan kekal?
….
Ya Ilahi, wahai Junjunganku, Pelindungku, Tuhanku,
Sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksa-Mu
Mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari-Mu?
….
Saya menatap Halimah yang sedang tersedu-sedu dan tiba-tiba saya merasa iri dan malu. Mengapa sulit bagi saya untuk bisa menangis seperti itu? Begitu banyakkah dosa-dosa saya? Padahal, Rasulullah s.a.w bersabda, “Tiada sesuatu pun yang lebih disukai oleh Allah selain dari dua tetesan dan dua bekas, yaitu tetesan airmata karena takut kepada Allah dan tetesan darah dalam mempertahankan agama Allah. Adapun dua bekas adalah bekas dalam perjuangan fisabilillah dan bekas perjuangan kewajiban kepada Allah.”(hadis riwayat Tirmizi). Wahai mata, menangislah!
PS: kalau menurut versi suami saya, saya susah menangis karena terlalu matre