Jangan kaget bila datang ke Teheran. Anda akan menjumpai perempuan Iran yang cantik-cantik, putih, …………..
…………….. maaf isi jurnal ini dihapus karena akan saya muat dalam buku saya “Perempuan Iran” yg terbit i. Allah bulan November. Beli ya;)
Jangan kaget bila datang ke Teheran. Anda akan menjumpai perempuan Iran yang cantik-cantik, putih, …………..
…………….. maaf isi jurnal ini dihapus karena akan saya muat dalam buku saya “Perempuan Iran” yg terbit i. Allah bulan November. Beli ya;)
(function(d,s,id) { var js; var fjs = d.getElementsByTagName(s)[0];if(d.getElementById(id)) {return;} js=d.createElement(s); js.id=id; js.src=’//connect.facebook.net/en_US/all.js#xfbml=1′; fjs.parentNode.insertBefore(js,fjs);}(document, ‘script’, ‘facebook-jssdk’));var addthis_share = { templates: { twitter: “{{title}} {{url}}}” }} var img = new Array(); img[0] = new Image(); img[0].src = ‘http://images.multiply.com/multiply/icons/clean/20×20/share-email-hover2.png’; img[1] = new Image(); img[1].src = ‘http://images.multiply.com/multiply/icons/clean/20×20/share-hover2.png’; img[2] = new Image(); img[2].src = ‘http://images.multiply.com/multiply/icons/clean/20×20/share-email2.png’; img[3] = new Image(); img[3].src = ‘http://images.multiply.com/multiply/icons/clean/20×20/share2.png’;
![]() |
Laporan Selayang Pandang Pemilu Iran | Jun 25, ’05 1:02 PM for everyone |
Di mana ada pengantin yang bela-belain datang keTPS lengkap dengan pakaian pengantin mereka (rupanya, setelah berdandan, sebelum ke tempat pesta, mereka menyempatkan diri ke TPS)?
———————…………….. maaf sbgn isi jurnal ini dihapus karena akan dimuat dalam buku saya “Pelangi di Persia” ——————–
——————–
Situasi unik ini diramaikan pula dengan propaganda terang-terangan AS agar rakyat Iran memboikot pemilu. Karena itu, para ulama pun sampai ikut-ikutan menyerukan rakyat agar mengikuti pemilu, alasannya demi membalas ‘penghinaan Amerika’. Turn out vote kali ini mencapai 65 persen (bandingkan dengan turn-out vote di Amerika yang hanya 50 persen– artikel Riza Sihbudi).
Yang lebih lucu lagi, keesokan harinya setelah pemilu, jubir Gedung Putih, Joanne Moore, mengatakan, “Dengan hasil pemilu di Iran, kami tidak melihat apapun yang mengubah pandangan kami bahwa Iran berada di luar jalur yang menuju kepada kebebasan dan kemerdekaan…”
(Laporan selayang pandang dari Mama-nya Kirana…just an ordinary foreigner in Iran.)
foto: Doktor Ahmadinejad, Presiden Iran yang baru
![]() |
Tahu | Jun 18, ’05 1:28 AM for everyone |
S
etahu saya, di seluruh Iran, hanya ada satu penjual tahu. Dia orang Iran asli yang pernah tinggal di Malaysia. Tahu ukuran sedang (lihat foto) itu dijualnya seharga 7000 riyal (kurang lebih setara dengan rupiah). Tapi, kepada mahasiswa, dia memberi korting, jadi 5000 riyal saja. Sayangnya, ketika saya masih berstatus mahasiswa, uang di kantong seringkali tidak cukup untuk membeli tahu. Harapan saya untuk makan tahu saat itu, hanyalah di kedutaan. Setiap kali ada acara makan-makan di kedutaan, saya hanya memilih tahu, tempe, dan sambal. Ayam, daging, ikan, tidak saya lirik sama sekali. Bagi saya waktu itu, tahu adalah makanan paling mahal dan paling lezat di dunia.
Kemarin, tepat hari penyelenggaraan pemilu di Iran, sambil deg-degan, siapa tahu ada bom nyasar, saya rela berpanas-panas di bis kota untuk membeli tahu. Saya tadinya berharap, karena hari libur, perjalanan tidak akan lama, karena jalanan sepi. Nyatanya, di beberapa titik malah sempat macet! Kali ini, histeria pemilu rupanya melanda Iran. Pemilu yang dimulai sejak jam sembilan pagi sampai jam sembilan malam, terpaksa ditunda sampai jam 12 saking membludaknya massa. Kalau menurut istilah seorang reporter CNN (saya tidak tahu namanya), bangsa Iran adalah bangsa keras kepala. (Mungkin maksudnya, semakin diserang black propaganda, semakin keukeuh.)
Turun bis, saya masih harus jalan kaki sekitar 500 meter untuk mencapai toko tahu satu-satunya itu. Panasnya…luar biasa, tapi tak apalah, demi tahu. Seperti biasa, si penjual mengira saya masih mahasiswa dan memberi harga 5000 riyal untuk saya sambil berpesan, “Doakan saya ya!”. Sambil terus tersiksa oleh panas, saya pulang menenteng enam potong tahu.
Sampai rumah, saya tidak sabar untuk menikmati tahu-tahu itu. Yang masak, siapa lagi kalau bukan si Akang. Kalau masak tahu, dia paling jago. Maklum, saya orang Padang asli, dan di keluarga kami, tahu itu ‘bukan makanan’. Tahu bagi orang Padang adalah lambang ‘kemiskinan’. Bila ada tamu, sangat aib menyuguhkan tahu (atau tempe). Makanan yang pantas adalah daging dengan kuah santan yang kental, ikan mas besar yang dipanggang, serta ayam goreng pop. Kalau perlu, kami jual emas buat menyediakan makanan ‘pantas’ itu untuk tamu!
Sambil menunggu tahu masak, saya browsing internet (sindir suami saya: Ayah memasak di dapur. Ibu duduk di depan komputer—padahal kan cuci piring sudah jadi jatah saya.). Tiba-tiba, dalam sekejap, kata-kata busung lapar berseliweran di kepala (gara-gara buka situs Detikcom). Konon di Sumatera Barat, kampung halaman saya, busung lapar juga mengancam. Sumatera Barat? Di nagari yang subur, hijau, dan penuh oleh petak-petak sawah itu ada busung lapar?!
Saya semakin penasaran dan memasukkan kata kunci :busung lapar sumatera barat. Masya Allah…tanpa setahu saya, ternyata tahun 1999-2000 Sumatera Barat pernah bikin heboh dengan terungkapnya data ribuan (8598!) bayi penderita busung lapar! Waktu itu, saya di mana ya? Oya, kami sedang berbulan madu dan sibuk mengamati daun-daun merah dan kuning di musim gugur, serta cemara yang merunduk menanggung beban butir-butir salju. Benar-benar sulit dipercaya, ketika keluarga saya mengganggap remeh tempe dan tahu, ternyata ada ribuan saudara-saudara sakampuang kami yang membeli sepotong tahu pun tak sanggup!
Mata saya terus menatap kata-kata yang berpendar di layar monitor…tiap empat detik seorang manusia di bumi meninggal akibat kelaparan…55 persen dari 12 juta anak di dunia meninggal tiap tahun akibat kelaparan…64.000 balita di NTT…1746 balita di Bandung….8455 balita di DKI alami gizi buruk…
Semua angka itu menembus jantung dan menusuk ulu hati.
Di mana saya saat ini?
Di sini, sibuk mengeluhkan makanan Iran yang membosankan dan berangan-angan tentang restoran Wong Solo.
Di sini, sibuk menimbun tabungan dan berkhayal tentang rumah seperti apa yang akan kami beli nanti.
Di sini, sibuk membeli tahu seharga 5000 sepotong hanya untuk memuaskan selera.
Saya menatap tahu lezat yang siap tersaji. Tiba-tiba, dada saya terasa sesak.
![]() |
Yang Telah Tersimpan di Dada | Jun 15, ’05 8:02 AM for everyone |
Hari ini benar-benar saya awali dengan buruk. Gara-gara tidur lagi ba’da Subuh, saya bangun lima belas menit sebelum jam delapan. Sambil gedebrukan siap-siap, termasuk melayani rengekan Kirana yang ingin diantar ke taman bermain di sudut jalan, saya menelpon taksi langganan saya. Saya tegaskan ke petugas layanan taksi, “Al an umad?” (artinya, “Sekarang juga datang, ya?” — yang saya gunakan adalah kalimat past tense.
Bila kalimat yang dipakai bentuk present –miyad— bisa dimaknai ‘nanti’, yang artinya…10 menit…20 menit…pokoknya ‘nanti’). Nyatanya, baru 15 menit kemudian taksi datang. Saya ngomel panjang-pendek. Gara-garanya, si sopir bukannya ngaku salah karena telat, malah nyalahin saya “Kenapa tidak kasih alamat yang jelas.” Entah siapa yang telmi, saya atau si petugas layanan taksi.
Gara-gara saya omelin, si sopir pun ngebut. Tiba-tiba…priiiiiit…apes deh, ada pak polisi. Waktu pun terbuang beberapa menit untuk pertengkaran antara si sopir dan pak polisi. Surat denda pun diterima si sopir (setara seratus ribu rupiah, tapi nanti bayarnya ke bank). Bener-benar apes, saya telat setengah jam ke kelas Quran, si sopir kena denda. Saya turun taksi sambil minta maaf, meski si sopir tidak ngomel apapun ke saya. Saya menyesal sekali, coba kalau saya tadi tidak marah-marah…
Setelah mendengarkan penjelasan dari Bu Guru yang manis dan imut-imut (tapi ternyata, anaknya sudah SMA) dan menghapal QS Al Baqarah ayat 135-141 sambil menahan lapar (ndak sempat sarapan, rek), akhirnya…shadaqallaahul adziim… Kami semua pun saling melempar senyum. Wajah-wajah perempuan para pencinta Quran itu terlihat berseri-seri. Apa pasal? Ya, hari ini kami selesai menghapal satu juz!
Saya menatap Bu Najar yang pensiunan guru matematika, Bu Rasyidi yang lugu, tapi paling lancar bila menjelaskan tips-tips agama berkaitan dengan kesehatan, Bu Khurasani yang suaranya lembuuut sekali, Bu Keyvan yang punggungnya sakit dan selalu memilih duduk di lantai, Bu Bandar yang meski sedang kuliah S2 dan punya anak empat, masih menyempatkan diri ikut kelas ini… (semuanya family’s name). Sambil mendengarkan mereka bertukar pandangan tentang siapa presiden yang sebaiknya dipilih dalam pemilu dua hari lagi, saya merenung sendiri.
Apa yang sudah saya dapatkan setelah 20 pekan ‘jungkir-balik’ menghapal juz pertama dari Al Quran itu? Mungkin, bagi orang lain, ini adalah pekerjaan mudah. Tapi, bagi kami, para ibu rumah tangga yang sudah tua-tua (saya paling muda di antara mereka, padahal saya merasa sudah tua, hiks…), dengan 1001 urusan dan kerepotan (saya, harus pula kerja enam jam perhari di IRIB), hal ini adalah pekerjaan berat dan membutuhkan semangat baja. Berkali-kali saya ingin menyerah. Tapi setiap kali mendengar celotehan Kirana, “Mah.. ayo sana, ngapalin!”, semangat saya bangkit lagi (padahal, Kirana itu kan ‘balas dendam’ gara-gara saya juga sering menyuruhnya ngapalin!)
Bila didaftar satu-persatu, sepertinya banyak sekali yang saya dapatkan dalam 20 pekan ini (selain gedubrakan tiap Rabu pagi dan kerepotan tiap Selasa malam…bad habbit, saya baru mengulang hapalan semalam sebelum pergi ke kelas). Tapi, hikmah terpenting bagi saya (setidaknya, yang saya rasakan saat ini) adalah … satu juz itu kini sudah saya pahami maknanya, artinya per-kata, dan tafsirnya (tentu, dengan standar ibu rumah tangga, bukan kelas ustadz atau ahli tafsir). Satu juz itu, bukan lagi lembar-lembar Quran yang dibaca wes..wes…wes… (dengan target satu juz semalam di bulan Ramadhan) tanpa sempat saya renungi maknanya. Satu juz itu, bila saya dengar bacaannya di TV atau radio, akan terasa dekat di telinga, otak, dan hati. Satu juz itu…kini telah tersimpan di dada, dan semoga selalu begitu.
![]() |
Hari-Hari yang Mulai Panas | Jun 15, ’05 4:21 AM for everyone |
Berbicara tentang Iran, sepertinya sering dicurigai membawa ‘misi’ tertentu. Saya benar-benar heran, bila teman-teman di berbagai negara sah-sah saja menceritakan tanggapan, serapan, atau kesan mereka tentang apapun yang mereka dapati di negeri tempat mereka tinggal (termasuk hal-hal ‘sepele’, misalnya bis yang mengerem ketika ada tupai lewat… yang tentu saja, dari kacamata tertentu, sikap ini menunjukkan kemuliaan akhlak), tentu sah-sah saja bila saya menceritakan apa yang saya lihat di sekitar saya. Jadi…tulisan berikut ini jangan diartikan sebagai propaganda. I just want to share you what I see and what I feel, that’s all.
Tanggal 17 Juni nanti, Iran akan mengadakan pemilu presiden. Dan seperti pemilu2 lainnya di Iran yang saya rasakan selama lima tahun masa tinggal saya di Iran, selalu saja suasana menjadi panas. Beberapa hari lalu, ledakan bom beruntun terjadi di Qom Ahvaz, dan… Teheran! Saya menjadi takut untuk keluar rumah, tapi apa boleh buat, saya tetap harus keluar untuk mencari sesuap nasi dan tabungan untuk membeli sepetak sawah di kampung halaman (Melayu bangeeetttt….!). Saya harus tetap keluar untuk ke kelas Quran, ke pasar, ke bank, ke mall, dll. Apa boleh buat, saya hanya bisa pasrah sambil tak habis pikir, mengapa ada orang yang tega meledakkan bom untuk melukai saudara-saudara sebangsa
nya sendiri. Versi pemerintah sih, ini pasti didalangi sang Setan Besar (sebaliknya, Bush pun konon berniat menghabisi ‘Poros Setan’).
Di televisi pemerintah, propaganda untuk menyukseskan pemilu dilakukan dengan penuh semangat juang. Oya, mulai tahun ini, pemilu presiden di Iran dilakukan dengan cara yang lebih modern, yaitu dengan membuat film kampanye (dulu-dulu, kampanye hanya berupa dialog di TV atau di gedung2 pertemuan, dan menempelkan poster di mana-mana…dan yang pasti, tidak ada pawai yang bikin macet jalan, apalagi pentas dangdut). Para kandidat dengan ‘manis’ tampil dalam sebuah film pendek. Bagus-tidaknya film itu, sepertinya, tergantung si sutradara. Menurut saya sih, film paling ‘keren’ adalah filmnya Rafsanjani, the old man yang berhasil ngibulin Amerika dalam skandal Iran-Contra dulu. Dia tampil dan menjadi narator bagi filmnya sendiri, dan dengan suara bergetar menceritakan keresahannya atas kondisi Iran saat ini. Di akhir film, dia berjalan bersama cucunya yang cantiiik (!) menyusuri jalan yang teduh oleh pepohonan. Sutradaranya benar-benar hebat, si narator, apalagi (maksudnya, ya Rafsanjani sendiri). Saya tidak tahu, apa dia pernah ikut kursus akting apa tidak, tapi yang jelas, di film itu, dia tampil OK banget.
Tapi, jangan tanya apa tanggapan masyarakat. Character assasination paling parah dialami oleh Rafsanjani. Hari ini di kelas Quran, para ibu-ibu sibuk bertukar gosip tentang Rafsanjani (maksud mereka baik: saling mempengaruhi temannya agar jangan salah pilih). Sanaz, teman sekantor yang orang Iran tapi pintar bahasa Indonesia, juga sinis banget pada Rafsanjani. Saya sih, cuek aja, emangnya gue pikirin.
Yang menarik bagi saya dari situasi menjelang pemilu ini adalah seimbangnya kampanye di antara para kandidat. Di sini tidak berlaku aturan bahwa pemilik uang terbanyak akan mampu menyewa jam iklan kampanye terbanyak. Jam iklan kampanye benar-benar dibagi sama rata. Tidak ada kandidat yang kampanye di TV lebih banyak daripada kampanye lain. Juga, tidak ada kemacetan dan tawuran antara pendukung (karena memang tidak ada pawai). Artis-artis tidak ada yang panen gara-gara pemilu (inget Inul yang ditawar, konon, lima milyar buat kampanye).
Sementara itu, televisi-televisi berbahasa Persia yang dipancarkan langsung dari Amerika Serikat (bisa ditangkap dengan parabola) dengan vulgar mempropagandakan slogan “jangan ikut pemilu.” Semalam saya menonton salah satu channelnya. Dengan gaya sangat norak (benar lo, saya bilang norak dengan jujur, bukan karena saya pro-ini-itu), seorang penyiar bilang gini, “Apakah Anda pikir para kandidat itu punya legalitas? Anda tahu legalitas itu apa? Ini…–dia memperlihatkan dasinya– inilah legalitas!” Lalu dia ngoceh sana-sini, yang sama sekali tidak bermuatan ilmiah. Terakhir, ada penyanyi tampil menyanyikan lagu rap dalam bahasa Persia, yang mengulang-ulang kalimat “jangan ikut pemilu, pulang aja ke rumah.” Norak abis, deh, pokoknya.
Oya, dasi (di Iran) adalah lambang Barat dan orang Iran (yang di Iran) umumnya tidak mau memakai dasi. Saya jadi inget Kang Isman, senior saya di Unpad yang sempat jadi diplomat di Iran. Dia awal masa tugasnya, karena belum beli mobil, dia naik bis ke kedubes. Di atas bis, semua menatapnya dan senyam-senyum. Apa pasal? Kang Isman pakai dasi! Saya juga jadi teringat dosen bahasa Persia saya di Universitas Qazvin, dia mengatakan alasan kenapa tidak mau pakai dasi, yaitu: kalau minum teh jadi susah, dasinya nyelup mulu ke gelas! (Orang Iran sangat gila teh).
Kembali soal ‘panas’ tadi… sekarang tiap keluar saya selalu berdoa agar selamat dan tidak kena bom nyasar. Saya jadi ingat ortu saya di Indonesia, pasti mereka sekarang khawatir… Dulu, ketika ada berita Bush akan menyerang Iran, bukan hanya ortu saya yang resah, tetapi juga tetangga-tetangga rumah kami di Padang (how much I miss them!). Yah… apa boleh buat. Saya tinggal di Indonesia pun, maut selalu mengintai dan bom juga bukan barang aneh.
Maaf kalau tulisan ini tidak sistematis. Maklum, namanya orang sedang ‘panas’ (summer is coming, pal!).
Di mana ada pengantin yang bela-belain datang keTPS lengkap dengan pakaian pengantin mereka (rupanya, setelah berdandan, sebelum ke tempat pesta, mereka menyempatkan diri ke TPS)?
———————…………….. maaf sbgn isi jurnal ini dihapus karena akan dimuat dalam buku saya “Pelangi di Persia” ——————–
——————–
Situasi unik ini diramaikan pula dengan propaganda terang-terangan AS agar rakyat Iran memboikot pemilu. Karena itu, para ulama pun sampai ikut-ikutan menyerukan rakyat agar mengikuti pemilu, alasannya demi membalas ‘penghinaan Amerika’. Turn out vote kali ini mencapai 65 persen (bandingkan dengan turn-out vote di Amerika yang hanya 50 persen– artikel Riza Sihbudi).
Yang lebih lucu lagi, keesokan harinya setelah pemilu, jubir Gedung Putih, Joanne Moore, mengatakan, “Dengan hasil pemilu di Iran, kami tidak melihat apapun yang mengubah pandangan kami bahwa Iran berada di luar jalur yang menuju kepada kebebasan dan kemerdekaan…”
(Laporan selayang pandang dari Mama-nya Kirana…just an ordinary foreigner in Iran.)
foto: Doktor Ahmadinejad, Presiden Iran yang baru
Setahu saya, di seluruh Iran, hanya ada satu penjual tahu. Dia orang Iran asli yang pernah tinggal di Malaysia. Tahu ukuran sedang (lihat foto) itu dijualnya seharga 7000 riyal (kurang lebih setara dengan rupiah). Tapi, kepada mahasiswa, dia memberi korting, jadi 5000 riyal saja. Sayangnya, ketika saya masih berstatus mahasiswa, uang di kantong seringkali tidak cukup untuk membeli tahu. Harapan saya untuk makan tahu saat itu, hanyalah di kedutaan. Setiap kali ada acara makan-makan di kedutaan, saya hanya memilih tahu, tempe, dan sambal. Ayam, daging, ikan, tidak saya lirik sama sekali. Bagi saya waktu itu, tahu adalah makanan paling mahal dan paling lezat di dunia.
Kemarin, tepat hari penyelenggaraan pemilu di Iran, sambil deg-degan, siapa tahu ada bom nyasar, saya rela berpanas-panas di bis kota untuk membeli tahu. Saya tadinya berharap, karena hari libur, perjalanan tidak akan lama, karena jalanan sepi. Nyatanya, di beberapa titik malah sempat macet! Kali ini, histeria pemilu rupanya melanda Iran. Pemilu yang dimulai sejak jam sembilan pagi sampai jam sembilan malam, terpaksa ditunda sampai jam 12 saking membludaknya massa. Kalau menurut istilah seorang reporter CNN (saya tidak tahu namanya), bangsa Iran adalah bangsa keras kepala. (Mungkin maksudnya, semakin diserang black propaganda, semakin keukeuh.)
Turun bis, saya masih harus jalan kaki sekitar 500 meter untuk mencapai toko tahu satu-satunya itu. Panasnya…luar biasa, tapi tak apalah, demi tahu. Seperti biasa, si penjual mengira saya masih mahasiswa dan memberi harga 5000 riyal untuk saya sambil berpesan, “Doakan saya ya!”. Sambil terus tersiksa oleh panas, saya pulang menenteng enam potong tahu.
Sampai rumah, saya tidak sabar untuk menikmati tahu-tahu itu. Yang masak, siapa lagi kalau bukan si Akang. Kalau masak tahu, dia paling jago. Maklum, saya orang Padang asli, dan di keluarga kami, tahu itu ‘bukan makanan’. Tahu bagi orang Padang adalah lambang ‘kemiskinan’. Bila ada tamu, sangat aib menyuguhkan tahu (atau tempe). Makanan yang pantas adalah daging dengan kuah santan yang kental, ikan mas besar yang dipanggang, serta ayam goreng pop. Kalau perlu, kami jual emas buat menyediakan makanan ‘pantas’ itu untuk tamu!
Sambil menunggu tahu masak, saya browsing internet (sindir suami saya: Ayah memasak di dapur. Ibu duduk di depan komputer—padahal kan cuci piring sudah jadi jatah saya.). Tiba-tiba, dalam sekejap, kata-kata busung lapar berseliweran di kepala (gara-gara buka situs Detikcom). Konon di Sumatera Barat, kampung halaman saya, busung lapar juga mengancam. Sumatera Barat? Di nagari yang subur, hijau, dan penuh oleh petak-petak sawah itu ada busung lapar?!
Saya semakin penasaran dan memasukkan kata kunci :busung lapar sumatera barat. Masya Allah…tanpa setahu saya, ternyata tahun 1999-2000 Sumatera Barat pernah bikin heboh dengan terungkapnya data ribuan (8598!) bayi penderita busung lapar! Waktu itu, saya di mana ya? Oya, kami sedang berbulan madu dan sibuk mengamati daun-daun merah dan kuning di musim gugur, serta cemara yang merunduk menanggung beban butir-butir salju. Benar-benar sulit dipercaya, ketika keluarga saya mengganggap remeh tempe dan tahu, ternyata ada ribuan saudara-saudara sakampuang kami yang membeli sepotong tahu pun tak sanggup!
Mata saya terus menatap kata-kata yang berpendar di layar monitor…tiap empat detik seorang manusia di bumi meninggal akibat kelaparan…55 persen dari 12 juta anak di dunia meninggal tiap tahun akibat kelaparan…64.000 balita di NTT…1746 balita di Bandung….8455 balita di DKI alami gizi buruk…
Semua angka itu menembus jantung dan menusuk ulu hati.
Di mana saya saat ini?
Di sini, sibuk mengeluhkan makanan Iran yang membosankan dan berangan-angan tentang restoran Wong Solo.
Di sini, sibuk menimbun tabungan dan berkhayal tentang rumah seperti apa yang akan kami beli nanti.
Di sini, sibuk membeli tahu seharga 5000 sepotong hanya untuk memuaskan selera.
Saya menatap tahu lezat yang siap tersaji. Tiba-tiba, dada saya terasa sesak.
Hari ini benar-benar saya awali dengan buruk. Gara-gara tidur lagi ba’da Subuh, saya bangun lima belas menit sebelum jam delapan. Sambil gedebrukan siap-siap, termasuk melayani rengekan Kirana yang ingin diantar ke taman bermain di sudut jalan, saya menelpon taksi langganan saya. Saya tegaskan ke petugas layanan taksi, “Al an umad?” (artinya, “Sekarang juga datang, ya?” — yang saya gunakan adalah kalimat past tense. Bila kalimat yang dipakai bentuk present –miyad— bisa dimaknai ‘nanti’, yang artinya…10 menit…20 menit…pokoknya ‘nanti’). Nyatanya, baru 15 menit kemudian taksi datang. Saya ngomel panjang-pendek. Gara-garanya, si sopir bukannya ngaku salah karena telat, malah nyalahin saya “Kenapa tidak kasih alamat yang jelas.” Entah siapa yang telmi, saya atau si petugas layanan taksi.
Gara-gara saya omelin, si sopir pun ngebut. Tiba-tiba…priiiiiit…apes deh, ada pak polisi. Waktu pun terbuang beberapa menit untuk pertengkaran antara si sopir dan pak polisi. Surat denda pun diterima si sopir (setara seratus ribu rupiah, tapi nanti bayarnya ke bank). Bener-benar apes, saya telat setengah jam ke kelas Quran, si sopir kena denda. Saya turun taksi sambil minta maaf, meski si sopir tidak ngomel apapun ke saya. Saya menyesal sekali, coba kalau saya tadi tidak marah-marah…
Setelah mendengarkan penjelasan dari Bu Guru yang manis dan imut-imut (tapi ternyata, anaknya sudah SMA) dan menghapal QS Al Baqarah ayat 135-141 sambil menahan lapar (ndak sempat sarapan, rek), akhirnya…shadaqallaahul adziim… Kami semua pun saling melempar senyum. Wajah-wajah perempuan para pencinta Quran itu terlihat berseri-seri. Apa pasal? Ya, hari ini kami selesai menghapal satu juz!
Saya menatap Bu Najar yang pensiunan guru matematika, Bu Rasyidi yang lugu, tapi paling lancar bila menjelaskan tips-tips agama berkaitan dengan kesehatan, Bu Khurasani yang suaranya lembuuut sekali, Bu Keyvan yang punggungnya sakit dan selalu memilih duduk di lantai, Bu Bandar yang meski sedang kuliah S2 dan punya anak empat, masih menyempatkan diri ikut kelas ini… (semuanya family’s name). Sambil mendengarkan mereka bertukar pandangan tentang siapa presiden yang sebaiknya dipilih dalam pemilu dua hari lagi, saya merenung sendiri.
Apa yang sudah saya dapatkan setelah 20 pekan ‘jungkir-balik’ menghapal juz pertama dari Al Quran itu? Mungkin, bagi orang lain, ini adalah pekerjaan mudah. Tapi, bagi kami, para ibu rumah tangga yang sudah tua-tua (saya paling muda di antara mereka, padahal saya merasa sudah tua, hiks…), dengan 1001 urusan dan kerepotan (saya, harus pula kerja enam jam perhari di IRIB), hal ini adalah pekerjaan berat dan membutuhkan semangat baja. Berkali-kali saya ingin menyerah. Tapi setiap kali mendengar celotehan Kirana, “Mah.. ayo sana, ngapalin!”, semangat saya bangkit lagi (padahal, Kirana itu kan ‘balas dendam’ gara-gara saya juga sering menyuruhnya ngapalin!)
Bila didaftar satu-persatu, sepertinya banyak sekali yang saya dapatkan dalam 20 pekan ini (selain gedubrakan tiap Rabu pagi dan kerepotan tiap Selasa malam…bad habbit, saya baru mengulang hapalan semalam sebelum pergi ke kelas). Tapi, hikmah terpenting bagi saya (setidaknya, yang saya rasakan saat ini) adalah … satu juz itu kini sudah saya pahami maknanya, artinya per-kata, dan tafsirnya (tentu, dengan standar ibu rumah tangga, bukan kelas ustadz atau ahli tafsir). Satu juz itu, bukan lagi lembar-lembar Quran yang dibaca wes..wes…wes… (dengan target satu juz semalam di bulan Ramadhan) tanpa sempat saya renungi maknanya. Satu juz itu, bila saya dengar bacaannya di TV atau radio, akan terasa dekat di telinga, otak, dan hati. Satu juz itu…kini telah tersimpan di dada, dan semoga selalu begitu.
Berbicara tentang Iran, sepertinya sering dicurigai membawa ‘misi’ tertentu. Saya benar-benar heran, bila teman-teman di berbagai negara sah-sah saja menceritakan tanggapan, serapan, atau kesan mereka tentang apapun yang mereka dapati di negeri tempat mereka tinggal (termasuk hal-hal ‘sepele’, misalnya bis yang mengerem ketika ada tupai lewat… yang tentu saja, dari kacamata tertentu, sikap ini menunjukkan kemuliaan akhlak), tentu sah-sah saja bila saya menceritakan apa yang saya lihat di sekitar saya. Jadi…tulisan berikut ini jangan diartikan sebagai propaganda. I just want to share you what I see and what I feel, that’s all.
Tanggal 17 Juni nanti, Iran akan mengadakan pemilu presiden. Dan seperti pemilu2 lainnya di Iran yang saya rasakan selama lima tahun masa tinggal saya di Iran, selalu saja suasana menjadi panas. Beberapa hari lalu, ledakan bom beruntun terjadi di Qom Ahvaz, dan… Teheran! Saya menjadi takut untuk keluar rumah, tapi apa boleh buat, saya tetap harus keluar untuk mencari sesuap nasi dan tabungan untuk membeli sepetak sawah di kampung halaman (Melayu bangeeetttt….!). Saya harus tetap keluar untuk ke kelas Quran, ke pasar, ke bank, ke mall, dll. Apa boleh buat, saya hanya bisa pasrah sambil tak habis pikir, mengapa ada orang yang tega meledakkan bom untuk melukai saudara-saudara sebangsanya sendiri. Versi pemerintah sih, ini pasti didalangi sang Setan Besar (sebaliknya, Bush pun konon berniat menghabisi ‘Poros Setan’).
Di televisi pemerintah, propaganda untuk menyukseskan pemilu dilakukan dengan penuh semangat juang. Oya, mulai tahun ini, pemilu presiden di Iran dilakukan dengan cara yang lebih modern, yaitu dengan membuat film kampanye (dulu-dulu, kampanye hanya berupa dialog di TV atau di gedung2 pertemuan, dan menempelkan poster di mana-mana…dan yang pasti, tidak ada pawai yang bikin macet jalan, apalagi pentas dangdut). Para kandidat dengan ‘manis’ tampil dalam sebuah film pendek. Bagus-tidaknya film itu, sepertinya, tergantung si sutradara. Menurut saya sih, film paling ‘keren’ adalah filmnya Rafsanjani, the old man yang berhasil ngibulin Amerika dalam skandal Iran-Contra dulu. Dia tampil dan menjadi narator bagi filmnya sendiri, dan dengan suara bergetar menceritakan keresahannya atas kondisi Iran saat ini. Di akhir film, dia berjalan bersama cucunya yang cantiiik (!) menyusuri jalan yang teduh oleh pepohonan. Sutradaranya benar-benar hebat, si narator, apalagi (maksudnya, ya Rafsanjani sendiri). Saya tidak tahu, apa dia pernah ikut kursus akting apa tidak, tapi yang jelas, di film itu, dia tampil OK banget.
Tapi, jangan tanya apa tanggapan masyarakat. Character assasination paling parah dialami oleh Rafsanjani. Hari ini di kelas Quran, para ibu-ibu sibuk bertukar gosip tentang Rafsanjani (maksud mereka baik: saling mempengaruhi temannya agar jangan salah pilih). Sanaz, teman sekantor yang orang Iran tapi pintar bahasa Indonesia, juga sinis banget pada Rafsanjani. Saya sih, cuek aja, emangnya gue pikirin.
Yang menarik bagi saya dari situasi menjelang pemilu ini adalah seimbangnya kampanye di antara para kandidat. Di sini tidak berlaku aturan bahwa pemilik uang terbanyak akan mampu menyewa jam iklan kampanye terbanyak. Jam iklan kampanye benar-benar dibagi sama rata. Tidak ada kandidat yang kampanye di TV lebih banyak daripada kampanye lain. Juga, tidak ada kemacetan dan tawuran antara pendukung (karena memang tidak ada pawai). Artis-artis tidak ada yang panen gara-gara pemilu (inget Inul yang ditawar, konon, lima milyar buat kampanye).
Sementara itu, televisi-televisi berbahasa Persia yang dipancarkan langsung dari Amerika Serikat (bisa ditangkap dengan parabola) dengan vulgar mempropagandakan slogan “jangan ikut pemilu.” Semalam saya menonton salah satu channelnya. Dengan gaya sangat norak (benar lo, saya bilang norak dengan jujur, bukan karena saya pro-ini-itu), seorang penyiar bilang gini, “Apakah Anda pikir para kandidat itu punya legalitas? Anda tahu legalitas itu apa? Ini…–dia memperlihatkan dasinya– inilah legalitas!” Lalu dia ngoceh sana-sini, yang sama sekali tidak bermuatan ilmiah. Terakhir, ada penyanyi tampil menyanyikan lagu rap dalam bahasa Persia, yang mengulang-ulang kalimat “jangan ikut pemilu, pulang aja ke rumah.” Norak abis, deh, pokoknya.
Oya, dasi (di Iran) adalah lambang Barat dan orang Iran (yang di Iran) umumnya tidak mau memakai dasi. Saya jadi inget Kang Isman, senior saya di Unpad yang sempat jadi diplomat di Iran. Dia awal masa tugasnya, karena belum beli mobil, dia naik bis ke kedubes. Di atas bis, semua menatapnya dan senyam-senyum. Apa pasal? Kang Isman pakai dasi! Saya juga jadi teringat dosen bahasa Persia saya di Universitas Qazvin, dia mengatakan alasan kenapa tidak mau pakai dasi, yaitu: kalau minum teh jadi susah, dasinya nyelup mulu ke gelas! (Orang Iran sangat gila teh).
Kembali soal ‘panas’ tadi… sekarang tiap keluar saya selalu berdoa agar selamat dan tidak kena bom nyasar. Saya jadi ingat ortu saya di Indonesia, pasti mereka sekarang khawatir… Dulu, ketika ada berita Bush akan menyerang Iran, bukan hanya ortu saya yang resah, tetapi juga tetangga-tetangga rumah kami di Padang (how much I miss them!). Yah… apa boleh buat. Saya tinggal di Indonesia pun, maut selalu mengintai dan bom juga bukan barang aneh.
Maaf kalau tulisan ini tidak sistematis. Maklum, namanya orang sedang ‘panas’ (summer is coming, pal!).
Kemarin siang, di restoran kantor, Mama-nya Hamzah (sohib Kirana, orang Kenya—di antara para ibu di rumah susun kami, ada empat ibu yang ikut ngantor, saya, Kak Ni, Halimah, dan Mama Hamzah), bertanya, “Kenapa sih, Kirana melarang Hamzah memanggil dengan nama ‘Kirana’ dan harus memanggil dengan ‘Mahdiah’?”
Saya terbahak. Memang peri kecil saya ini punya aturan aneh: teman-temannya orang Indonesia harus memanggil dia ‘Kirana’ sedangkan teman-teman non-Indonesia harus menyapanya dengan ‘Mahdiah’. Bahkan, dalam posisi ‘orang ketiga’ pun, aturan ini harus dijaga. Misalnya, Bahesti ngobrol dengan Hamzah, “Hamzah, yuk kita mainnya di rumah Kirana aja!” Kirana akan menegur Bahesti dan Bahesti dengan patuh mengulangi kalimatnya, “Hamzah, bia bazi kunim khune-ye Mahdiah!” (ini artinya sama dengan kalimat sebelumnya).
Saya tidak tahu apa alasannya, karena Kirana hanya menjawab ‘Pokoknya harus gitu’, ketika ditanya.
Umumnya, teman-teman kami warga Indonesia di Iran, memberi nama anak dengan nama-nama Arab yang indah: Fathimah, Zahra, Raihanah, Zakiyah, Anisah, dan sejenisnya. Akibatnya, ketika nama Kirana diumumkan, hampir semua berkomentar, “Waaaaa….?” (bahkan ada yang menambahkan, “Dewa19 ni yee…”). Ada pula yang mengerutkan kening tanda tidak setuju (ini sih umumnya teman-teman saya yang keturunan Arab, mungkin menurut mereka, nama anak harus berbau-bau Arab). Ada pula, anak teman saya yang kesulitan menyebut nama Kirana, “Adik Kalena…adik Kalena…”, katanya. Ibunya berusaha meluruskan, tapi tidak berhasil. Akhirnya ayahnya nyeletuk, “Udahlah, biarin aja, emang namanya aneh!”
Kepada mereka, juga kepada keluarga kami di Indonesia, saya berkali-kali harus memberi pengumuman bahwa menurut kamus Indonesia-Inggris, Kirana berarti ‘joy of light’, artinya setara dengan Nur/Nurul, dan setara dengan ‘cahaya’. Kalau anak boleh diberi nama Nurul, mengapa tidak Kirana? Anyway, sesungguhnya, selain saya memang jatuh hati pada kata ‘kirana’, saya juga punya sentimen ke-indonesia-an dalam hal ini. Saya ingin anak saya memiliki nama yang baik, perpaduan antara Indonesia asli dan Arab (bagaimanapun juga, setuju atau tidak, nama Arab memang memiliki kesan Islami). Oleh karena itu, selain Kirana, saya pun memberikan nama ‘Mahdiah’ kepada anak saya.
Nama ‘Mahdiah’ juga memiliki sejarah tersendiri. Kirana lahir tanggal 18 Sya’ban (saat itu 15 November) di Iran. Sementara itu, tanggal 15 Sya’ban adalah hari lahir Imam Mahdi, yang di Iran dirayakan besar-besaran. Hampir di setiap sudut kota dipasangi lampu hias berwarna-warni. Warga juga membuat hiasan gapura penuh lampu hias di ujung jalan/gang mereka. Pokoknya, beberapa malam menjelang dan sesudah tanggal 15 Sya’ban, Iran dipenuhi cahaya kelap-kelip dan warna-warni. Karena itu, menurut saya, kata ‘joy of light’ (=kirana) identik dengan kata ‘mahdi’, yang dalam bahasa Arab berarti ‘orang yang mendapat hidayah’ (kamus Munawir). Sementara nama ‘mahdiah’ adalah bentuk feminin dari ‘mahdi’.
Terakhir, agar tidak repot dalam mengisi berbagai formulir yang menyertakan kolom “family’s name”, saya menambahkan nama Papa (Sulaeman, yang kata mertua, nama ini mengandung harapan agar si Papah kelak jadi orang soleh plus kaya kayak Nabi Sulaiman).
Jadi…inilah KMS stands for: Kirana Mahdiah Sulaeman.
Semoga engkau menjadi anak cemerlang sesuai namamu, Nak. Amin…
dedicated to:
* Papa, yang hari ini ultah…what a lovely daddy you’ve always been…
* Mang Ijay, yang hari ini juga ultah…semoga cepet menang jodo..
* Tante baru Kirana, Yulis, yang menanyakan…kok nama Rana tidak ditambah dengan nama Islami?
* Tante Nia, yang dulu lagu favoritnya adalah Kirana-nya Dewa 19
![]() |
Iran Lolos Piala Dunia (dan Taktik Pengalihan Perhatian) | Jun 9, ’05 9:27 AM for everyone |
Saya bukan pemerhati sepakbola. Kalaupun memperhatikan, itu hanya upaya untuk menjadi istri yang ‘matching’ dengan suami (artinya, kalau dia dengan semangat 45 bicara bola, saya pura-pura memperhatikan dengan seksama– ups, jangan ngambek Kang!). Apa boleh buat, di luar dugaan, saya ternyata mendapat suami yang gila bola. Dia sengaja beli TV portable hanya supaya tidak perlu mengalah dengan saya (ketika saya ingin nonton sinetron). Tapi, tadi malam, mau tidak mau, saya terpaksa memperdulikan kemenangan tim Iran lawan Bahrain. Soalnya, ribuuuuuut…pisan! Bunyi mercon, sorak-sorai pengendara motor, bunyi motor dan mobil yang digas keras-keras, dan keributan para penghuni rumah susunku tercinta, yang tumplek ke halaman demi menonton keramaian di jalan (termasuk Kirana dan Papanya), terus memekakkan telinga. Teman saya Euis, yang jauh-jauh datang dari Qom untuk liburan akhir pekan ke Teheran, terjebak kemacetan enam jam saat menuju rumah susun kami, gara-gara histeria warga Teheran yang tumplek blek ke jalan-jalan (parahnya, rumah susun kami tak jauh dari Stadium Azadi, tempat berlangsungnya kejuaraan).
Saya tidak ingin membahas sepakbola (dilarang kecewa bagi penggemar bola). Saya ingin melihat fenomena ini dari sudut pandang lain. Saya perhatikan, pemerintah Iran memang habis-habisan dalam mendukung dunia olahraga. Bila Indonesia sempat kecewa gara-gara final Taufik Hidayat di Athena tidak disiarkan langsung oleh TV-TV Indonesia, di Iran…pertandingan remeh-temeh pun diliput besar-besaran. Misalnya saja, pertandingan sepak takraw antar propinsi yang ‘rebek’ pun disiarkan live (kata Akangku, ini sih kalau di Indonesia paling tingkat RT). Sepakbola, jangan tanya, dalam semalam bisa sampai 3 siaran live (dari pertandingan2 ternama). Setiap tahun, ada pemilihan 10 olahragawan terbaik yang diliput besar-besaran, dengan hadiah yang bikin orang lain menelan ludah. Pelatih-pelatih asing disewa kayak nyewa taksi (maksud saya, kok sedemikian gampangnya, gitu). Terakhir, ketika di Olympiade Athena Mir Arash Esmaili, juara dunia judo, menolak bertanding dengan lawan pertamanya dari Israel (dan di media-media Barat malah dia disebut WO karena sakit), oleh pemerintah dia diberi hadiah setara 1 milyar rupiah! Pengiriman pendaki muslimah yang berhasil sampai di puncak Everest pun tak luput dari kebijakan pro-olahraga ini.
Dari sini, saya melihat ‘kecerdikan’ pemerintah Iran. Mereka tidak mengalihkan perhatian rakyat dengan cara-cara vulgar (misalnya, ‘pemanfaatan’ tragedi tsunami untuk mengalihkan kasus kenaikan BBM di Indonesia). Tidak bisa dipungkiri, ketidakpuasan terhadap pemerintah memang merebak di mana-mana, tapi anehnya, sumbernya selalu masalah ‘kebebasan’, padahal mereka sudah sedemikian bebasnya ngomelin pemerintah. Di Iran, pengalihan perhatian itu adalah dengan penyebaran sport-fever. Dan ini ternyata sangat efketif.
Saya lihat, ketika ada even-even olahraga, setiap kali Iran menang atau berada di posisi kritis (misalnya, sedang semifinal atau final), histeria nasionalisme rakyat negeri ini semakin memuncak. Orang-orang yang sehari-hari saya temui memaki-maki pemerintah, dalam even-even ini pasti lupa pada maki-makiannya itu dan kelihatan bangga sekali dengan ke-Iran-annya. Anak-anak muda yang sehari-hari (kadang-kadang saya gaul juga loh, biarpun udah emak-emak) terobesesi ingin hidup di luar negeri lepas dari pemerintahan Islami (dalam bayangan mereka, di luar negeri itu hidup mereka akan bebassss….!), dalam even-even penting olahraga, dengan bangga membawa bendera Iran dan bahkan bela-belain ngantri di stadium sepakbola sejak pagi. Jangan berani bicara maki-maki pemerintah dalam kondisi seperti ini, karena pasti didamprat sama mereka.
Kesimpulan: spread the sport fever, and rule the country…
![]() |
Modarbuzurg Kirana | Jun 5, ’05 1:08 PM fo r everyone |
Modarbuzurgh artinya nenek. Namanya Sadiqah, punya anak delapan. Saya mengenalnya pertama kali sebulan setelah saya tiba di Iran. Saya sempat menginap beberapa minggu di rumahnya, karena kami (saya dan suami) belum berhasil menemukan rumah kontrakan yang pas dengan kantong kami. Di rumahnya, saya sempat sakit. Dia memberi obat dan merawat saya. Dua anaknya yang terkecil, Fatimah dan Mauidah, segera menajdi sahabat kecil saya. Saya sempat kebingungan menggunakan kompor gas (karena tidak otomatis seperti di Indonesia, tetap harus pakai korek api), dia terbahak dan berkata, “Azpazi balad nisti?” (kamu tidak bisa memasak ya?). Dia mengajari cara memasak nasi ala Iran, yang menurutnya jauh lebih lezat dibanding cara Indonesia (karena memakai minyak dan garam).
Sejak saat itu, dia menjadi ibu angkat saya dan kini menjadi nenek angkat Kirana. Ketika saya hamil, dia menghidupkan semacam dupa dan menyiramkan asapnya ke perut saya. Konon, prosesi seperti itu membawa berkah. Ketika saya melahirkan, dia ada di samping saya (di Iran, suami-suami dilarang masuk ruang bersalin). Seusai melahirkan, dia menyuapi saya dengan kurma, makanan, dan es buah, serta memberi nasehat-nasehat “kewanitaan”. Alangkah baiknya Allah kepada saya. Meski saya berada ribuan kilometer dari ibu kandung saya, namun Dia mendatangkan seorang ibu baru, orang Iran asli.
Siapakah Sadiqah? Dia adalah ipar dari seorang ustad hauzah (sebuah lembaga pendidikan khas Iran, yang melahirkan ulama-ulama semacam Khomeini, Muthahhari, Ali Syariati, ibrahim Amini, dll) bernama Syekh Abdullah. Kisah tentang Syekh Abdullah adalah kisah tentang kasih sayang yang tulus. Selain mengajar, beliau ditugasi mengurus para pelajar asing (mungkin semacam guru asrama di Indonesia). Beliau mengayomi para pelajar asing yang datang dari berbagai penjuru dunia itu seperti mengurus anaknya sendiri. Istrinya pernah cerita, perhiasannya jauh berkurang setelah menikah dengan Syekh Abdullah. Sebabnya, sang Syekh ini sering mengeluarkan uang untuk membantu para pelajar yang kesulitan. Saya dan suami bisa menginap berminggu-minggu di rumah Sadiqah atas rekomendasi Syekh Abdullah, dan kami bukan satu-satunya yang pernah menerima rekomendasi semacam itu.
Apakah Syekh Abdullah orang kaya? Tidak. Dia dan keluarganya hidup menumpang dari satu rumah ke rumah lain. Mereka (suami-istri dan delapan anak) pernah menumpang di rumah ayah Syekh Abdullah. Lalu ketika adiknya menderita kecelakaan dan harus menumpang di rumah ayah mereka, Syekh Abdullah dan keluarganya pindah rumah, menumpang di rumah keluarga mereka yang lain (yang kebetulan kosong). Mereka hidup sangat sederhana. Namun di tengah kesederhanaan itu, Syekh Abdullah tidak pernah ragu untuk memberi kepada orang lain.
![]() |
My mother taught me… | Jun 2, ’05 8:38 AM for everyone |
Bagus buat introspeksi bagi para ibu…
My mother taught me to appreciate a job well done, “If you are going to kill each other, do it outside. I just finished cleaning!”
My mother taught me about time travel, “if you don’t straighten up, I’m going to knock you into the middle of next week!”
My mother taught me logic, “Because I said so, that’s why.”
My mother taught me logic, “If you fall out that swing and break your neck, you’re not going to the store with me.”
My mother taught me foresight, “Make sure you wear clean t-shirts in case you are in an accident.”
My mother taught me irony, “Keep crying and I’ll give you something to cry about.”
My mother taught me about contortionist, “Will you look at the dirt on the back of your neck!”
My mother taught me about stamina, “You’ll sit there till all that spinach is finished.”
My mother taught me about weather, “It looks as if a tornado swept through your room.”
My mother taught me how to solve physics problems, “If I yelled because I saw a meteor coming toward you, would you listen THEN?”
My mother taught me about hypocrisy, “If I’ve told you once, I’ve told you a millions times- Don’t exaggerated!!!”
My mother taught me the circle of life, “I brought you into this world and I can take you out.”
My mother taught me about behavior modification, “Stop acting like your father!”
My mother taught me about envy, “There are millions of less fortunate children in this world who don’t have wonderful parents like you do!”
My mother taught me about anticipation, “Just wait until we get home.”
My mother taught me about receiving, “You are going to get it when we get home!”
My mother taught me medical science, “If you don’t stop crossing your eyes, they are going to freeze that way!”
My mother taught me to think ahead, “If you don’t pass your spelling test, you’ll never get agood job.”
My mother taught me ESP, “Put your sweater on, don’t you think I know when you’re cold?”
My mother taught me humor, “When that lawn mower cuts off your toes, don’t come running to me.”
My mother taught me how to become an adult, “If you don’t eat vegetables, you’ll never grow up.”
My mother taught me about genetics, “You’re just like your father.”
My mother taught me about my roots, “Do you think you were born in a barn?”
My mother taught me about wisdom of age, “When you get to be my age, you will understand.”
And my all time favorite…justice, “One day you’ll have kids…and I hope they turn out just like you!”
(Tehran Times, June2, 2005)
![]() |
Breaking news: muslimah pertama di puncak Everest | May 31, ’05 9:12 AM for everyone |
Setelah perempuan Iran berhasil jadi muslimah pertama peraih Nobel (Shirin Ebadi), kini, puncak Everest pun untuk pertama kalinya ditaklukkan oleh muslimah asal Iran. Setelah dua bulan kedinginan di pegunungan Everest untuk menunggu cuaca yang bersahabat, kemarin tanggal 30 Mei 2005, jam 10:45 waktu Kathmandu, dua muslimah berhasil menancapkan bendera di puncak Everest setinggi 8,885 meter. Kedua muslimah itu merupakan bagian dari tim sebanyak 8 orang (di antaranya juga coaches mereka, laki-laki).
(sumber: Tehran Times, 31 May 2005)
Updated News:
Tanggal 13 Juni 2005, tim Everest Iran sudah kembali ke tanah air mereka. Ternyata, yang berhasil mencapai puncak itu ada delapan orang (dari 17 anggota tim keseluruhan), dua di antaranya muslimah bernama Farkhande Shadeq dan Laleh Keshavarz. (Anggota tim yang perempuan seluruhnya ada enam orang). Mereka terpaksa mendekam di pegunungan Everest selama 2 bulan karena cuaca yang sangat buruk, bahkan terburuk selama 20 tahun terakhir. Tim-tim dari negara-negara lain sudah pada pulang kampung, tapi tim Iran mencoba bertahan. Akhirnya, ada satu hari cuaca agak lumayan, mereka pun mendaki ke puncak. Di tengah jalan, mereka dihadang longsoran salju, sehingga harus balik lagi ke base-camp. Keesokan harinya, cuaca juga lumayan bagus, kedelapan pendaki itu mendaki kembali dan berhasil sampai di puncak dan menancapkan bendera bertuliskan ‘Allah’. Ketika anggota tim itu diwawancarai televisi, apa kunci keberhasilan mereka, semua seperti kompak menjawab, “Doa!”
![]() |
18th Tehran International Book Fair | May 23, ’05 3:07 PM for everyone |
Seperti biasanya, sejak 18 tahun yang lalu, Iran menyelenggarakan pameran buku internasional. Tahun ini, pameran itu diikuti oleh 750 penerbit asing (non-Iran), yang memamerkan 162.000 judul buku terbitan tahun 2003 dst. Penerbit Iran yang berpartisipasi dalam pameran ini berjumlah 1818 penerbit, yang memamerkan 100 ribuan judul buku. Lokasi pameran yang asri, di dekat pegunungan Alborz, membuat pengunjung tidak sekedar datang untuk melihat buku, melainkan sekalian untuk piknik keluarga. Tak heran bila banyak keluarga yang bawa tikar dan makan siang ketika datang ke pameran, lalu duduk-duduk di hamparan rumput yang hijau. (Kami datang pada hari kerja, jadi nggak ada foto2 keluarga yang lagi ngampar ^_^). Uniknya lagi, beda dengan Indonesia, pedagang makanan di kompleks pameran ini sama sekali tidak menaikkan harga. Jadi, kalau mau jajanpun, tidak akan menguras kantong.
Di pameran ini juga diselenggarakan temu muka dengan sastrawan, sanggar menggambar untuk anak, malam seni, seminar para penerbit int’l, dan seminar sastra. Kirana sempat ikut sanggar menggambar dan diberi hadiah mainan.
….selanjutnya silakan klik di sini
Modarbuzurgh artinya nenek. Namanya Sadiqah, punya anak delapan. Saya mengenalnya pertama kali sebulan setelah saya tiba di Iran. Saya sempat menginap beberapa minggu di rumahnya, karena kami (saya dan suami) belum berhasil menemukan rumah kontrakan yang pas dengan kantong kami. Di rumahnya, saya sempat sakit. Dia memberi obat dan merawat saya. Dua anaknya yang terkecil, Fatimah dan Mauidah, segera menajdi sahabat kecil saya. Saya sempat kebingungan menggunakan kompor gas (karena tidak otomatis seperti di Indonesia, tetap harus pakai korek api), dia terbahak dan berkata, “Azpazi balad nisti?” (kamu tidak bisa memasak ya?). Dia mengajari cara memasak nasi ala Iran, yang menurutnya jauh lebih lezat dibanding cara Indonesia (karena memakai minyak dan garam).
Sejak saat itu, dia menjadi ibu angkat saya dan kini menjadi nenek angkat Kirana. Ketika saya hamil, dia menghidupkan semacam dupa dan menyiramkan asapnya ke perut saya. Konon, prosesi seperti itu membawa berkah. Ketika saya melahirkan, dia ada di samping saya (di Iran, suami-suami dilarang masuk ruang bersalin). Seusai melahirkan, dia menyuapi saya dengan kurma, makanan, dan es buah, serta memberi nasehat-nasehat “kewanitaan”. Alangkah baiknya Allah kepada saya. Meski saya berada ribuan kilometer dari ibu kandung saya, namun Dia mendatangkan seorang ibu baru, orang Iran asli.
Siapakah Sadiqah? Dia adalah ipar dari seorang ustad hauzah (sebuah lembaga pendidikan khas Iran, yang melahirkan ulama-ulama semacam Khomeini, Muthahhari, Ali Syariati, ibrahim Amini, dll) bernama Syekh Abdullah. Kisah tentang Syekh Abdullah adalah kisah tentang kasih sayang yang tulus. Selain mengajar, beliau ditugasi mengurus para pelajar asing (mungkin semacam guru asrama di Indonesia). Beliau mengayomi para pelajar asing yang datang dari berbagai penjuru dunia itu seperti mengurus anaknya sendiri. Istrinya pernah cerita, perhiasannya jauh berkurang setelah menikah dengan Syekh Abdullah. Sebabnya, sang Syekh ini sering mengeluarkan uang untuk membantu para pelajar yang kesulitan. Saya dan suami bisa menginap berminggu-minggu di rumah Sadiqah atas rekomendasi Syekh Abdullah, dan kami bukan satu-satunya yang pernah menerima rekomendasi semacam itu.
Apakah Syekh Abdullah orang kaya? Tidak. Dia dan keluarganya hidup menumpang dari satu rumah ke rumah lain. Mereka (suami-istri dan delapan anak) pernah menumpang di rumah ayah Syekh Abdullah. Lalu ketika adiknya menderita kecelakaan dan harus menumpang di rumah ayah mereka, Syekh Abdullah dan keluarganya pindah rumah, menumpang di rumah keluarga mereka yang lain (yang kebetulan kosong). Mereka hidup sangat sederhana. Namun di tengah kesederhanaan itu, Syekh Abdullah tidak pernah ragu untuk memberi kepada orang lain.
Bagus buat introspeksi bagi para ibu…
My mother taught me to appreciate a job well done, “If you are going to kill each other, do it outside. I just finished cleaning!”
My mother taught me about time travel, “if you don’t straighten up, I’m going to knock you into the middle of next week!”
My mother taught me logic, “Because I said so, that’s why.”
My mother taught me logic, “If you fall out that swing and break your neck, you’re not going to the store with me.”
My mother taught me foresight, “Make sure you wear clean t-shirts in case you are in an accident.”
My mother taught me irony, “Keep crying and I’ll give you something to cry about.”
My mother taught me about contortionist, “Will you look at the dirt on the back of your neck!”
My mother taught me about stamina, “You’ll sit there till all that spinach is finished.”
My mother taught me about weather, “It looks as if a tornado swept through your room.”
My mother taught me how to solve physics problems, “If I yelled because I saw a meteor coming toward you, would you listen THEN?”
My mother taught me about hypocrisy, “If I’ve told you once, I’ve told you a millions times- Don’t exaggerated!!!”
My mother taught me the circle of life, “I brought you into this world and I can take you out.”
My mother taught me about behavior modification, “Stop acting like your father!”
My mother taught me about envy, “There are millions of less fortunate children in this world who don’t have wonderful parents like you do!”
My mother taught me about anticipation, “Just wait until we get home.”
My mother taught me about receiving, “You are going to get it when we get home!”
My mother taught me medical science, “If you don’t stop crossing your eyes, they are going to freeze that way!”
My mother taught me to think ahead, “If you don’t pass your spelling test, you’ll never get agood job.”
My mother taught me ESP, “Put your sweater on, don’t you think I know when you’re cold?”
My mother taught me humor, “When that lawn mower cuts off your toes, don’t come running to me.”
My mother taught me how to become an adult, “If you don’t eat vegetables, you’ll never grow up.”
My mother taught me about genetics, “You’re just like your father.”
My mother taught me about my roots, “Do you think you were born in a barn?”
My mother taught me about wisdom of age, “When you get to be my age, you will understand.”
And my all time favorite…justice, “One day you’ll have kids…and I hope they turn out just like you!”
(Tehran Times, June2, 2005)