Desperate housewife. Julukan ini, sejak tiga minggu terakhir agaknya pas untuk disematkan ke dada saya. Gimana tidak desperate, disuruh bedrest, tanpa batas waktu yang jelas. Biasanya saya sangat merindukan waktu untuk berleha-leha di rumah seharian. Tapi, kini, setelah benar-benar disuruh berleha-leha, bahkan dilarang untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat (membuat donat pun ternyata termasuk kategori pekerjaan berat:D), yang ada hanya rasa bosan dan jenuh. Menghibur diri
dengan ngempi dan chatting pun tak bisa mengobati rasa desperate itu. Akhirnya saya putuskan untuk puasa ngempi dan chatting selama seminggu terakhir (jadi, sekalian, minta maaf ya, sepekan terakhir ini saya tidak berkunjung ke rumah-rumah teman-teman sekalianJ).
Alhamdulillah, setelah sepekan terakhir saya berjuang melawan rasa jenuh itu dengan melakukan kegiatan produktif, seperti menulis dan menerjemahkan buku, rasa desperate itu mulai menghilang. Saya jadi merasa malu pada diri sendiri, betapa saya selama ini sudah menjadi hamba tidak bersyukur karena mengeluh bosan dan jenuh! Bukankah saya dikaruniai kemampuan menulis (asal bukan cerpen dan puisi)? Komputer plus koneksi internet pun tersedia, siap untuk dimanfaatkan.
Bayangkan, bila saya ada dalam posisi para ibu rumah tangga di Indonesia dari kalangan menengah ke bawah (paling tidak, dalam posisi beberapa ibu yang saya kenal). Internet? Di Indonesia, dengan segala kemahalan harga kebutuhan pokok, internet adalah fasilitas yang tidak akan terakses oleh para ibu sederhana itu (dan memang tidak dirasa perlu oleh mereka). Menulis? Mungkin bagi mereka, ini adalah sebuah pekerjaan yang aneh. Apanya yang mau ditulis? Minat mereka biasanya di bidang ketrampilan tangan, misalnya membuat bunga atau menjahit. Tapi, lagi-lagi, akan terbentur pada biaya. Mendingan uangnya ditabung untuk kebutuhan yang mendesak, ke dokter, misalnya.
Fasilitas sosial yang disediakan pemerintah juga tidak mengakomodasi mereka. Jauh berbeda dengan yang saya temui di Iran. Kelas-kelas keterampilan gratis untuk ibu-ibu dengan mudah bisa didapat, minimalnya pada musim panas (musim libur). Begitu juga dengan majelis-majelis ilmu khusus untuk ibu-ibu. Dengan demikian, mereka dengan mudah bisa menemukan tempat beraktifitas yang murah, meriah, dan bermanfaat. Kalaupun mau duduk seharian di depan televisi, acara-acara edukatifnya sangat banyak dan bermanfaat.
Sementara, ibu-ibu sederhana di Indonesia, apa yang mereka lakukan untuk mengisi waktu luang? Satu-satunya yang paling murah meriah adalah televisi. Jadilah mereka dengan setia duduk di depan televisi, setelah menyelesaikan pekerjaan rutin seperti memasak dan mencuci. Televisi menjadi segala-galanya. Sinetron-sinetron dilahap, tak peduli kualitasnya seperti apa. Infotainment disimak habis, sehingga mereka akan hapal luar kepala, si anu kawin sama si anu, si anu sedang menuntut cerai dari si anu. Sayang sekali, televisi di Indonesia lebih senang menyajikan hiburan yang kualitas edukasinya menyedihkan.
Lalu, bagaimana dengan usaha peningkatan kualitas pendidikan anak? Bukankah seorang ibu harus memahami psikologi anak, memahami bagaimana cara mengembangkan kepribadian anak? Ah, serahkan saja kepada sekolah. Habis, mau bagaimana lagi. Beli buku tentang parenting? Itu adalah penambahan bujet yang ‘tidak masuk akal’. Ke perpustakaan? Kok kayak anak kuliahan saja? Apalagi, ongkos angkot sekarang sangat mahal. Kalau tidak perlu-perlu amat, ya mending di rumah saja. Jangan lagi beri mereka alternatif surfing di internet atau diskusi di milis. Itu benar-benar dunia ‘antah-berantah’.
Desperate housewife… Mungkin mereka –para ibu yang sederhana, tidak neko-neko, dan tidak banyak angan-angan muluk itu—tidak merasakan ke-desperate-an. Mereka hanya menjalani kehidupan apa adanya. Entahlah, siapa yang lebih beruntung? Mereka, atau saya, yang sedemikian tergantung kepada internet, buku, berbagai fasilitas elektronik, dan dunia kerja, sehingga ketika satu saja ada yang hilang, dunia serasa runtuh dan hidup terasa kehilangan arah?
Sejak tanggal 14-16 April 2006, di Iran diselenggarakan “Konferensi Internasional Palestina dan Dukungan Bagi Hak-Hak Bangsa Palestina”. Pesertanya para ketua parlemen (atau utusan parlemen) dari berbagai negara, kalau tidak salah yang hadir sekitar 30-an negara, salah satunya Pak Hidayat Nurwahid, ketua MPR kita. Salah satu hasil dari konferensi itu adalah menggalang dana bantuan untuk pemerintah Palestina (dan hal ini menjadi sangat urgen setelah AS dan Uni Eropa menghentikan bantuan mereka, gara-gara yang menang pemilu adalah partai yang tidak mereka sukai: HAMAS– weleh-weleh, katanya pembela demokrasi, gimana sih?!).
Semalam, Pak Hidayat mengadakan pertemuan dengan warga Indonesia di Iran, terutama para mahasiswa. Ada salah satu kisah menarik yang diceritakan oleh Pak Hidayat, yang ingin saya sharing di sini.
Hidayat: Saya beberapa waktu lalu berkunjung ke Aceh. Beberapa ulama mengatakan kepada saya, “Pak, kami di sini sudah berhasil menegakkan syariat Islam.”
Hidayat: Syariat Islam itu seperti apa?
Ulama: Kami menangkapi penjudi, sampai kami sekarang kebingungan mau ditahan dimana, saking banyaknya yang sudah ditangkap. Lalu, kami juga mewajibkan kaum perempuan berkerudung, bahkan kalau perlu, kami yang menyediakan kerudungnya.
Hidayat: Penegakan syariat Islam itu bukan seperti itu. Ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah adalah ‘iqra‘, atau membaca. Nah, seberapa besar dana yang sudah dialokasikan pemerintah Islam untuk pendidikan? Sudahkah sepadan dengan perintah pertama Islam itu? Lalu, dalam surat Qurays ada ayat fal ya’budu rabbahaadzal bait, alladzi at’amahum min juu’in wa aamanahum min khauf, (dan berimanlah kepada Tuhan Pemilik Rumah Ini (Ka’bah), Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan). Pemerintah Islam berkewajiban untuk membebaskan rakyat dari kelaparan dan memberi rasa aman kepada rakyat. Syariat Islam seperti inilah yang diperjuangkan oleh PKS dan saya kira, pemikiran ini bisa diterima semua orang dan juga menjadi cita-cita semua bangsa Indonesia. Namun, sayang sekali, ketika konsep seperti ini datang dari kami, yang dibesar-besarkan adalah isu-isu Islamisasi.
Sekian sekilas info
Foto dari sini, soalnya hasil jepretan si Papa gagal semua, kesalahan teknis, hiks.