Akhir-akhir ini di Ina kayaknya emang lagi demam Ahmadinejad. Saya lihat di TV Iran, sambutan rakyat Ina emang luar biasa, bahkan Ahmadinejad pun pasti terheran-heran, kok bisa dia disambut sedemikian rupa. Agaknya, demam anti Amerika yang melanda Ina telah membuat sosok Ahmadinejad jadi figur idola. Atau mungkin juga, banyak dari kita yang sudah sangat muak melihat para pejabat yang korup dan hidup bermewah-mewah, sehingga merindukan adanya pemimpin yang benar-benar hidup sederhana. Banyak yang berkomentar, “Ah, seandainya kita punya presiden seperti dia…”
Saya pun penggemar Ahmadinejad. Tapi, saya lebih memilih untuk tidak berkata, “Seandainya…”
Kenapa?
Karena saya melihat, Indonesia dan Iran (saat ini) kondisinya benar-benar beda.
Bahkan seandainyapun ada sosok dengan karakteristik persis plek dengan Ahmadinejad (pinter, pekerja keras, orator ulung, sederhana, jujur, berani, dll) di Indonesia, saat ini, hari ini, sosok itu tidak akan memliki kesempatan untuk jadi seorang presiden. Sosok seperti itu sejak awal akan sudah ditendang dari sistem politik Indonesia dan tidak akan menjadi apa-apa (paling banter jadi pengamat).
Ahmadinejad sangat diuntungkan oleh sistem politik di Iran. Tanpa uang, tanpa partai, dia bisa maju ke pemilu. Kampanye televisi (yang bila di Ina adalah barang mahal dan hanya kandidat dengan kantong tebal yang bisa melakukannya) bisa dilakukan leluasa oleh Ahmadinejad karena memang semua channel tivi diwajibkan mengalokasikan sejumlah jam secara adil kepada seluruh kandidat presiden, gratis.
Rakyat Iran, saya lihat, sepertinya bukan jenis orang yang mudah silau oleh film-film khas kampanye yang banyak kamuflasenya. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang mau duduk berlama-lama mendengarkan talk show serius dengan para kandidat (yang bagi kita orang Ina, acara seperti itu sangat membosankan). Dari talk show itulah, rakyat Iran menilai, bagaimana kualitas kandidat mereka. Jadi, tidak heran –meski telah diserbu black propaganda—pada suatu malam Ahmainejad tampil di tivi, menyampaikan program-programnya, pemikiran-pemikirannya, dll, besoknya, orang-orang (minimalnya teman2 sekantor saya, teman-teman di kelas Quran, atau di pengajian ibu-ibu kampung saya) langsung berubah pikiran.
Lalu, Ahmadinejad juga didukung oleh situasi yang sangat menguntungkannya. Ia mewarisi situasi politik yang cukup stabil dan terkendali. Parlemen saat ini dikuasai oleh orang-orang kanan, yang memberikan dukungan penuh padanya. Bahkan saingannya dalam pemilu, Rafsanjani, satu pekan setelah pemilu, langsung memberi khutbah Jumat (yang disiarkan secara nasional). Isinya: menyeru rakyat dari berbagai golongan agar mendukung preisden baru. Rafsanjani bahkan menjadi special envoy untuk berdiplomasi dengan berbagai negara, demi mendukung proyek nuklir Iran. Saingan lainnya, Larijani, juga ditunjuk menjadi ketua Dewan Keamanan Nasional Iran, yang salah satu tugasnya memimpin proyek nuklir Iran.
Jadi, semua orang di sekitar Ahmadinejad memiliki satu suara. Rakyat pun, berkat dukungan media massa, juga hampir satu kata: mendukung sang presiden. Broadcasting Iran yang terdiri dari minimalnya 7 channel tivi, dan beberapa channel internasional (terbayang kan, betapa besar kompleks kantor saya… mau kemana-mana harus naik bis internal) memang ada di bawah satu kontrol, sehingga informasi yang sampai ke masyarakat sifatnya kritis, tapi tidak menyesatkan atau membingungkan opini.
Bandingkan dengan situasi yang harus dihadapi presiden kita saat ini; sedemikian banyak suara, oposan, penentangan, dll. Media massa pun ikut membuat ‘heboh’ situasi. DPR dan parlemen, lebih sering bersikap oposan daripada menjadi mitra pemerintah. Berat sekali kan? Kalau SBY berani menentang AS (misalnya dalam kasus Exxon dan Freeport), dalam sekejap, saya yakin, dia bakal dilengserkan oleh tangan-tangan tak terlihat.
Soal kesederhanaan, hmmm… sebenarnya itu bukan hal aneh di Iran. Jadi, Ahmadinejad sangat mudah menemukan kandidat-kandidat menteri yang punya ‘selera’ sama dengannya. Para menteri kabinetnya saat ini rata-rata tinggal di apartemen kecil, yang selama ini memang sudah mereka tempati (salah satunya adalah tetangga dari mertua teman saya; mereka tinggal di apartemen yang sama, sejak sebelum jadi menteri dan sampai kini, setelah jadi menteri). Rupanya, menjadi menteri sama sekali tidak membuat mereka diberi fasilitas rumah yang lebih ‘pantas’.
Dengan kabinet yang kompak, hasil pilihan Ahmadinejad sendiri (namun, sebelumnya harus mendapatkan mosi percaya dari parlemen), yang satu ‘selera’ soal kesederhanaan dan kerja keras, bukan titipan dari partai ini-partai anu, bisa dibayangkan betapa bagus (potensi) kinerja mereka (kan belum setahun, jadi hasilnya belum terlalu terlihat). Bandingkan dengan presiden kita yang kerepotan menyusun kabinet karena banyak partai yang minta jatah. Akibatnya banyak orang-orang yang tidak layak jadi menteri, terpaksa tetap diangkat jadi menteri.
Kesimpulan saya, kita tidak perlu memimpikan hadirnya seorang sepe
rti Ahmadinejad untuk jadi pemimpin di Ina. Yang harus kita lakukan adalah ‘menciptakan’ situasi agar sosok seperti dia (saya yakin, di Ina pun ada orang-orang dengan karakteristik yang mirip-mirip Ahmadinejad) bisa mendapat kesempatan untuk memimpin. Kita-lah yang harus berperan aktif. Karena kita sendirilah yang mencoblos dalam pemilu. Kita sendiri yang memilih anggota DPR. Kita sendiri yang memilih presiden kita. Kita yang seharusnya mengubah paradigma, jangan mau terkena isu-isu. Kita memilih presiden bukan melalui isu, melainkan melalui pikiran jernih. Kita dengarkan kata-kata mereka (para kandidat presiden itu) dan kita perhatikan track record mereka; bukan kata-kata orang di milis-milis atau gosip-gosip di kantor-kantor.
Artinya, siapa pemimpin kita, sesungguhnya ada di tangan kita sendiri.