Pagi ini, saya mengambil kesimpulan, perempuan hebat lahir dalam tempaan hidup yang berat. Tempaan hidup itulah kawah candradimuka bagi mereka, dan keberhasilan mereka melalui masa ujian itu membuat mereka tampil menjadi sosok perkasa yang memberi pencerahan kepada orang-orang sekitarnya.
Saya kemarin membeli buku mba Me, Catatan Cinta Sang Istri. Saya terbengong-bengong membaca betapa berat perjalanan hidup yang dilaluinya. Buku itu menceritakan pengalaman hidup mba Me mulai dari masa adaptasi berumah tangga, menghadapi musibah beruntun, dan kini, dalam upayanya meningkatkan kualitas diri sebagai perempuan, istri, dan ibu. Buku yang sarat dengan hikmah dan pelajaran hidup yang amat berharga itu, di satu sisi membuat saya merasa malu. Betapa lemahnya saya selama ini!
Buku ‘adik’ saya, Ima, Long Distance Love (terbitnya sih nanti bulan Maret, tapi karena saya mendapat kehormatan untuk memberi endorsment, jadi boleh baca duluan deh :D), juga berkisah tentang perempuan-perempuan perkasa itu. Hidup berjauhan dari tambatan hati (suami), siapa yang sanggup? Tapi mereka berhasil melalui situasi amat berat itu dan memetik buah keberhasilan. Banyak sekali pelajaran tentang kekuatan cinta yang bisa kita dapatkan dari buku ini. Sekali lagi, buku ini juga membuat saya malu. Betapa lemahnya saya selama ini!
Sahabat saya yang satu lagi, belum menulis buku. Tapi kisah hidupnya amat sangat berat. Tiap kali dia menelpon saya mencurahkan isi hati, mulut saya terasa amat kelu. Entah apa yang harus saya ucapkan untuk menghibur hatinya. Dia begitu kuat dan saya begitu lemah. Tak pantas sama sekali saya berkata padanya, “Sabar ya…” karena saya sendiri sangat sedikit tahu arti kata ‘sabar’ itu. Dia memperjuangkan harga dirinya yang diinjak-injak oleh orang yang sangat dicintainya. Dan ternyata motivasinya hanya satu, “Kalau aku menyerah dan diam, orang akan terus berpikir bahwa beginilah seharusnya nasib perempuan. Tidak. Aku ingin buktikan bahwa perempuan itu harus dihormati!”
Teman saya yang lain lagi, adalah seorang psikolog yang luar biasa. Dia keliling Indonesia, memberikan pencerahan kepada para ibu di berbagai kota, mengenai cara menjadi ibu yang baik. Dia adalah ibu yang jatuh bangun mengurusi anak-anaknya yang masing-masing punya ‘masalah’. Dengan bantuan psikolog, teman saya ini berhasil melalui semua kesulitan itu dan berhasil membesarkan anak-anak yang bahagia. Dan teman saya ini, akhirnya kuliah lagi di jurusan psikologi dan kini menjadi psikolog yang memberi pencerahan kepada banyak ibu (termasuk saya). Saya sudah mengajaknya menulis buku karena pengalamannya sangat berharga dan perlu dibaca banyak orang.
Berkaca pada teman-teman perempuan saya yang hebat-hebat itu, saya hanya bisa berkata, “Kesulitan hidup telah menjadikan mereka perempuan hebat!” Terimakasih buat mereka, yang telah menyadarkan saya untuk selalu bersyukur dan tidak patah semangat hanya karena cobaan hidup yang remeh-temeh (yang tak ada apa-apanya dibanding cobaan hidup yang mereka lalui). Insya Allah, tiap ada kesulitan hidup menimpa saya, apa-apa yang mereka tulis/katakan akan menjadi mercu suar bagi saya…