Pagi ini, saya menemukan pencerahan lagi: otak kita bisa lelet dan menurun kemampuannya dalam membaca dan mencerna buku gara-gara keranjingan internet. Ironisnya, pencerahan ini saya dapatkan justru dari blogwalking: kegiatan tiap subuh saya (bukannya baca Quran! Duh… ironis..ironis..).
Artikel asli (b. Inggris) bisa dibaca di sini, ulasan (dalam bhs Indonesia), secara sangat bagus, ditulis oleh seorang blogger bernama Irma di sini.
Intinya, seorang penulis tersohor yang telah menulis berbagai buku dan artikel berbobot tentang teknologi informasi, bisnis dan kebudayaan bernama Nicholas Carr, menulis artikel berjudul “Apakah Google Membuat Kita Bodoh?”. Di artikel itu Carr mengeluhkan:
Selama beberapa tahun belakangan ini saya punya perasaan yang tidak enak bahwa ada seseorang, atau sesuatu, mengutak-atik otak saya, mengubah jaringan saraf, memprogram ulang memoriku. Kemampuan berfikir saya, setahu saya, tidak sedang lenyap, tapi sedang berubah. Saya tidak berfikir lagi seperti saya dulu berfikir. Saya paling bisa merasakannya saat saya sedang membaca. Dulu mudah sekali untuk tenggelam dalam keasyikan membaca buku atau artikel panjang. Pikiran saya hanyut dalam jalan cerita atau lika-liku suatu argumen, dan saya bisa selama berjam-jam dengan santai menjelajahi tulisan prosa yang panjang.
Itu sekarang jarang terjadi lagi. Kini konsentrasi saya mulai buyar setelah dua atau tiga halaman. Saya mulai gelisah, lupa jalan cerita, mulai cari-cari kesibukan lain. Saya merasa seakan-akan harus terus menerus menyeret pikiran saya, yang mau lari entah kemana, kembali ke teks bacaan. Kegiatan membaca dengan penuh konsentrasi yang dulu merupakan sesuatu yang bisa saya lakukan dengan begitu saja, sudah menjadi suatu perjuangan.
Apa penyebabnya?
Carr menyimpulkan: internet.
Gaya membaca bukanlah ‘naluriah’, tapi mengalami ‘pembentukan’; meskipun kita sudah dewasa, gaya membaca kita bisa saja berubah dan disetel ulang. Gaya membaca yang dipicu oleh internet mengutamakan efisiensi dan kesegeraan (immediacy) di atas segala-galanya. Dan gaya macam ini melemahkan kapasitas kita untuk membaca mendalam (deep reading). Bila kita membaca online, kita cenderung cuma menjadi “decoders of information“. Kemampuan kita untuk menginterpretasi teks, untuk membuat hubungan-hubungan mental yang terbentuk apabila kita membaca dengan mendalam dan penuh konsentrasi tidak diaktifkan.
Oalaaah… ini kok persiiiiis… yang saya alami! Saya sekarang benar-benar kesulitan membaca buku secara konsisten. Saya tidak bisa lagi melakukan ‘deep reading’ (kecuali novel yang benar2 ringan dan asyik).
Bangun..bangun..! Ini waktunya saya mengambil jarak dari internet dan kembali memaksa otak saya untuk bisa menekuni buku. Dan, untung saya sadarnya sekarang, sebelum Kirana keranjingan internet. Saya harus menghindarkannya dari bahaya besar ini…!
NB: kalau Anda kesulitan membaca artikel ini, karena kepanjangan; apalagi membaca artikel aslinya (yang puanjang itu)… wah.. itu tanda2 bahwa kemampuan baca Anda sudah ‘disetel ulang’ oleh internet 😀
Resolusi untuk Diri Sendiri:
- Mendaftar ke perpustakaan British Council (seperti saran dari Uni Desti)
- Pagi2, abis sholat dan ngaji, tidak buka internet, tapi BACA BUKU!
- Membuka internet maksimal hanya 1 jam sehari, sebagai ‘hadiah’ dari kerja keras saya membaca buku 😀 (kurang-lebih, seperti saran dari Reza Gunawan)
NB: mohon maaf… isi tulisan ini sama sekali tak bermaksud menyinggung hati temen2 yg bekerja dg internet ya.. reply bijaksana dari mba Azimah di bawah sangat pas: yg dimaksud internetan yg mengganggu cara kerja otak adalah internetan ala saya gini deh..loncat sana-sini, baca gak pernah mendalam.. ada baiknya artikel asli dibaca..jauh lebih ilmiah dibanding tulisan saya di sini:D