Kata radikal sekarang ini sepertinya identik dengan sesuatu yang tidak baik, ekstrimisme, bahkan mungkin identik dengan ‘terorisme’.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ra·di·kal a 1 secara mendasar (sampai kpd hal yg prinsip): perubahan yg –; 2 Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); 3 maju dl berpikir atau bertindak.
Ketika kuliah S2 kemarin, seorang dosen memuji paper saya sebagai paper yang radikal, dalam arti, saya membongkar topik yang saya tulis itu hingga ke akarnya, tidak sekedar menulis di ‘permukaan’. Saat itulah saya ‘ngeh’ pada makna kata radikal yang sebenarnya.
Lalu, akhir-akhir ini, saya dan suami menggunakan kata-kata ‘radikal’ dalam membahas sebuah keputusan yang akan kami ambil untuk pendidikan anak-anak kami. Kami menyimpulkan bahwa kami ini sama-sama radikal, suka berpikir hingga ke akar, dan akhirnya mengambil keputusan yang di mata sebagian orang lain mungkin ekstrim.
Nah, balik lagi ke masalah radikal. Saya baru-baru ini membaca beberapa buku yang radikal, yang mengajak saya berpikir hingga ke akar, sehingga membongkar cara pandang saya tentang ‘belajar’. Salah satunya, The Learning Revolution (Dryden& Vos). Selama ini, sebagaimana kebanyakan dari kita mungkin, mengidentikkan belajar dengan baca buku dan menyerap ilmu-ilmu wajib: matematika, sains, IPS, kimia, fisika, dll. Lalu ada tes-tes, kalau lulus dianggap pintar, kalau nggak lulus dianggap bodoh.
Dalam buku ‘Learning Revolution’ itu, disebutkan bahwa ada 4 hal yang diperlukan dalam belajar:
1. citra diri dan perkembangan pribadi.
Citra diri ternyata lebih penting daripada materi pelajaran.
Ini hasil renungan singkat saya: Dan proses belajar yang benar seharusnya mampu membentuk citra diri positif anak. Sayangnya, di budaya kita, kok kita suka sekali menertawakan anak ya? Kalau anak salah dalam berkata-kata/mengambil kesimpulan, malah ditertawakan. Warna kulit diejek. Labeling sering terjadi (lelet! gini2 aja kok ga paham sih?!). Kalau tidak dilakukan ortu, sikap itu ditunjukkan oleh sekitar, paman, bibi, kakek, nenek, dll.
Sebagai ortu, yang paling utama dilakukan ternyata membentuk citra diri positif anak bahwa dia mampu belajar apapun yang dia inginkan, bahwa dia tidak bodoh, bahwa dia anak istimewa. Seseorang yang mencitrakan dirinya sebagai pelajar yang lemot, ya memang itulah yang akan terjadi, dia akan lemot..:(
2. Pelatihan keterampilan hidup
Ini renungan saya: saya berkali-kali ingin punya pembantu. Tapi, kini saya pikir-pikir lagi, justru dengan tanpa pembantu saya mendidik anak-anak saya untuk mandiri dan memiliki keterampilan hidup. Mereka terlatih untuk membereskan rumah, mencuci piring, mencuci baju, bahkan menyetrika. Lalu, secara perlahan, sesuai dengan tahap perkembangan mereka, ortu bisa memberikan pelatihan-pelatihan skill yang lain. Yang kebayang sama saya saat ini, saya bisa melatih Kirana ketika SMP nanti, untuk menjadi sekretaris saya, misalnya, menjawab dan menyortir email-email, hehe.. Digaji, tentu saja. Kalau Reza, hm, bahkan dia sejak sekarang sudah berkata ingin belajar bahasa Persia supaya bisa membantu papanya menerjemahkan film-film Iran 🙂
3. Belajar tentang cara belajar dan cara berpikir
Cara belajar itu ternyata tidak hanya dengan membaca, tapi dengan banyak cara dan disesuaikan dengan kepribadian kita masing-masing. Ada banyak teknik untuk membaca, sehingga kegiatan membaca menjadi efektif. Nah, itu semua perlu dipelajari oleh kita dan anak-anak.
Lalu, mengajari anak untuk berpikir?
Wah, ini sih parenting banget. Yang sudah pernah ikut pelatihan bunda Rani pasti sudah hafal. Tugas ortu yang paling utama itu justru membentuk anak-anak yang mampu berpikir benar.
Kita sudah menyaksikan negeri ini kacau balau karena orang-orang (pejabat/anggota DPR, dll), tidak mampu berpikir benar. Benar mereka orang-orang dengan gelar akademis yang tinggi. Tapi itu tidak menjamin mereka mampu berpikir benar. Mereka tidak bisa memutuskan mana yang terbaik buat rakyat. Keputusan yang diambil adalah buat kepentingan politik dan bisnis masing-masing, dan tunduk pada kepentingan negara asing yang kaya raya itu.
Dan mereka dulunya adalah anak-anak yang dibesarkan oleh ibunya masing-masing kan?
Jadi terasa kan, bahwa kita para ibu bertanggung jawab besar untuk membentuk Indonesia masa depan?
4. Kemampuan-kemampuan akademik, fisik, dan artistik yang spesifik.
Jadi, kemampuan akademik sebenarnya hanya sebagian kecil dari proses belajar keseluruhan. Namun sayangnya, energi kita dalam mendidik anak justru lebih fokus pada kemampuan akademik itu. Di sekolah pun, sayangnya, fokusnya juga ke nilai dan trik menjawab soal supaya lulus ujian.
Banyak dari kita yang berpikir bahwa itu semua terkait dengan masa depan anak. Tapi, seperti ditulis Thomas Amstrong :
“Tapi, masa depan macam apa? Masa depan dengan lebih banyak belajar keras, lebih banyak perjuangan mendapat nilai tinggi dan ujian. Dunia nyata tidak seperti itu. Di dunia nyata, kita harus bekerja sama dengan orang lain, memecahkan masalah bersama, menjadi bagian dari masyarakat, dan mengembangkan kompetensi profesi yang tidak selalu terkait dengan akademik, tapi sangat mungkin terkait dengan bidang-bidang non akademik seperti musik, seni lukis, mekanik, dll”
Terus-terang, membaca buku-buku Dryden&Vos, Amstrong, Rose&Nicholl, dll, membuat saya mengubah cara pandang saya soal ‘apa yang harus dipelajari anak-anak saya’. Dan saya menyesal, kenapa ga dari dulu baca buku-buku itu ya…hiks.. Tapi better late than never.
Lihat, berpikir radikal ternyata ga serem-serem amat kan? Sama sekali tidak ada kaitannya dengan terorisme kan? 😀