Mindful Life

Pelatihan Self Emotional Healing adalah tahapan kedua setelah mengikuti pelatihan Amazing Communication. Sebenarnya inti pelatihan ini adalah menjawab, mengapa kita masih saja terus tergelincir berbuat kesalahan, padahal sudah tahu dan paham teori komunikasi? Mengapa kita masih mengomel, cerewet, bahkan terkadang terlepas ngamuk, ketika anak-anak kita melakukan kesalahan? Padahal, kita tahu, bagaimana yang seharusnya dilakukan dan dikatakan saat ada konflik dengan anak.

Inti jawabannya, karena alam bawah sadar kita memang senang ‘membajak’ perilaku kita. Nah, untuk menyelesaikan masalah ini, kita perlu menguasai cara self emotional healing. Gimana caranya, ya panjang sekali deh ceritanya (bayangin, pelatihannya aja dua hari). Doain ya, saya dan bunda Rani bisa nulis bukunya, hehe..

Hari Jumat dan Sabtu yll, saya kembali mengikuti pelatihan ini untuk yang keduakalinya. Dan, meski pengulangan, tetap saja banyak yang saya dapatkan. Yang ingin saya catat pagi ini adalah hasil refleksi saya pribadi tentang konsep mindful life yang disampaikan bunda Rani Razak Noe’man. Artinya, hidup yang bermakna, dijalani dengan kesadaran penuh, dengan rasa syukur penuh. Buat yang sibuk berkarir dan dibatasi waktu oleh jam dan deadline (dan di saat yang sama mengemban tugas mahaberat: membesarkan anak) mungkin perlu lebih banyak berjuang supaya bisa meraih mindful life ini. Saya sendiri belum bisa merumuskannya atau memberi saran apapun untuk kasus demikian.

Nah buat saya pribadi, saya tiba-tiba tersadarkan: saya ini kurang apa sih? Gak perlu kerja mencari nafkah; rumah sudah ada; suami baik, anak-anak baik dan sehat. Tapi kok ya belum bisa mencapai tahap ‘mindful life’ ini? Ciri-cirinya: masih sering stress, masih sering terburu-buru, dikejar deadline yang saya buat sendiri, kadang masih suka meledak dan emosional, saya nggak nyadar bahwa saya bernafas, saya tidak menikmati setiap teguk air yang saya minum, saya terganggu oleh rengekan Reza saat saya asyik di depan laptop, dan masih banyak lagi. Kebangetan banget kan? Seharusnya, saya itu SANGAT menikmati hidup yang luar biasa ini.

Oke, jadi saya akan berusaha menganalisis situasinya.

Justru karena saya ini ‘aman sentosa’ saya merasa butuh tantangan dan butuh eksis (kan udah berkali-kali curhat tuh, saya itu masih sering ‘malu’, ngapain kuliah sampai S2 kalau cuma main mulu sama anak.. harus berkarya dong! liat tuh orang lain bukunya banyak, tulisan dimuat di koran, bla..bla..). Justru karena itu saya semakin giat menulis. Nah, karena topik yang saya sukai adalah politik internasional, yang penuh konflik, maka otak saya pun penuh konflik dan ketegangan. Kasian banget deh gue, udahlah nulisnya gratisan, stress, dan anak-anak terabaikan. Entah berapa kali saya berkata, “Reza, tunggu bentar sih, sedikit lagi..” (habis tanggung, dan saya kalau nulis itu memang ngotot/tenggelam, sulit untuk berenti). Dan Reza pun merengek, bahkan marah, dan entah berapa kali berkata, “Mama bohong! Katanya cuma sebentar, ini sih lama!” (pdhl, beneran, saya cuma minta waktu 15 menit saja, menurut saya itu tak lama, menurut Reza itu lama).

Ketika tulisan tak selesai, atau selesai tapi kemudian dapat komen negatif dari orang baik langsung maupun tak langsung (dan saya kebetulan juga tahu dari orang, di balik layar, saya banyak diomongin orang, dituduh ini-itu karena tulisan saya yang melawan mainstream), itu juga menimbulkan stress dan tekanan tersendiri buat saya.

Nah, teorinya: selesaikan dulu masalah dalam diri sendiri (self), masalah dalam keluarga, baru ngurusin masyarakat. Jangan sampai kita jadi ibu yang mindless atau abai. Ada kisah nyata tentang seorang ibu aktivis dakwah, tapi anaknya yang masih remaja malah jadi gay. Si ibu berusaha mengobati ke sana-sini, tapi ga sembuh juga. Ya iyalah, penyembuhan kayak gini mah musti melibatkan ortu secara penuh. Ini bukan penyakit yang bisa dibawa ke dokter, dikasih obat, dan sembuh. Ibu yang mindful akan menghentikan semua kegiatannya, dan total mengurusi anaknya ini sampai sembuh. Tapi sayang sekali, ibu aktivis itu malah mengambil sikap pasrah (“ya udahlah, mungkin emang nasib kami begini”), dan tetap konsen ngurusin dakwahnya. Inilah ibu yang mindless; nggak nyadar, tugas mana yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Naudzu billah min dzalik.

Jadiii? Saya musti gimana nih? Masak berenti nulis? Masak batal nih daftar S3 semester depan?

Jawabannya, saya musti menjalani semuanya dengan mindfulness. Inilah yang musti saya latih, mulai hari ini:

-saya menulis tanpa deadline, bahkan kalau ga selesai juga biarin (emang ada yang marah gitu? kan saya nulis juga gratisan, gak ada yang ngorder; ini semata-mata pertanggungjawaban ilmiah saja;Β  alhamdulillah..ini sebuah nikmat yang besar, gak semua orang bisa hidup sebebas ini.. keterlaluan banget kalau saya malah mengubah nikmat ini jadi ‘bala’; dengan ngomel, stres, dll).

-saya menulis saat Rana dan Reza tidak sedang membutuhkan saya.

-saya menulis karena Allah, karena saya yakin apa yang saya tulis adalah benar; saya menulis berdasarkan ilmu (ya iyalah, dulu itu kuliah lagi kan supaya bisa menganalisis secara lebih ilmiah dan akurat). Saya anggap saja, orang-orang yang mengkritik saya adalah mereka yang mungkin kurang banyak membaca (dan tentu saja, apa yang saya pahami sebagai orang yang jauh lebih banyak digging/menggali suatu topik pastilah akan beda dengan mereka yang cuma baca sekilas-sekilas). Jadi kalau ada yang mengkritik, wajar-wajar aja. Pertama, saya introspeksi lagi. Kedua, kalau saya tetap yakin data saya nggak salah, ya biarkan saja semua kritikan itu. Bahkan Nabi Muhammad yang ma’shum tanpa dosa, ada yang ngatain gila; apalagi saya yang emang masih banyak salah ini. Intinya: ga usah dimasukin ke hati, RUGI banget tau!

-saya menulis dengan menikmati prosesnya; dan mensyukuri tiap momennya.

-mulai merutinkan teknik-teknik sederhana ini:Β  menikmati setiap teguk minuman dan makanan (jangan sambil internetan, kan jadi ga berasa makan/minumnya) dan bersyukur; bernafas dengan perlahan dan mengingat betapa setiap helaan nafas adalah karunia besar dari Allah, menikmati setiap momen bermain dan belajar bersama Reza. Saya harus berhenti mikirin tulisan saat saya sedang bersama Reza dan berjanji: tidak akan terima telpon atau membalas sms selama waktu yang sudah disepakati bersama Reza; saya juga harus mendekati lagi Kirana. Kirana anak yang sangat mandiri -alhamdulillah, berarti teknik parenting saya ada hasilnya juga– tapi justru karena itulah dia menjadi seolah-olah agak terabaikan (karena perhatian saya sering direbut Reza). Dimulai dengan menetapkan waktu khusus menemani Kirana belajar (saking mandirinya, Kirana ga perlu disuruh2 belajar; dan dia biasa belajar sendiri tanpa perlu diperhatiin).

-S3? ya tetep ndaftar, tapi tanpa ‘menyerah’ pada stress akibat deadline, tekanan, atau apapun. Niatnya kan mau mencari ilmu, jadi akan saya nikmati saja. Tujuan mencari ilmu adalah mendekatkan diri kepada ALlah. RUGI banget cape-cape kuliah tapi malah jauh dari Allah.

Tanyakan pada diri sendiri: hidup yang tersisa ini, mau diisi dengan apa? Dengan abai (mindless), atau dengan mindful life?

Demikian. Catatan ini memang sangat personal, lebih sebagai pengingat untuk diri saya sendiri, tapi siapa tau ada inspirasi yang bisa diambil oleh teman-teman lain. πŸ™‚

12 thoughts on “Mindful Life

  1. dan apa yang dina tulis, itulah yang dian rasakan….

    terima kasih tulisan ini… pengingat utk mencoba menghindari mindless…:)

    jadi terpikir menulis sesuatu di blog… tapi ya itu tadi.. nunggu anak2 lagi “gak butuh” kita dulu..hehehe

  2. Makasih mbak Dina..artikelny bagus sekali.. banyak yang ingin saya komentari dari tulisan mbak ini tapi ingin menyampaikan salam kenal dulu deh ama mbak.. udah lama menjadi penggemar mbak Dina di FB tapi ga bs komen krn udah ga mau add temen ya mbak..:( Saya sangat suka tulisan mbka Dina tentang konflik timur tengah krn mampu memberi pencerahan bagi saya tentang siapa yg salah dan benar..semoga menjadii amal bg mbak Dina dalam mnyampaikan kebenaran..amiinn..

  3. Pingback: A Mindful-Life-Afternoon | My daily life...

  4. Pingback: Coming Soon: A Note From Tehran | My daily life...

Leave a reply to dinasulaeman Cancel reply