Buat semua ibu, anaknya tentu saja istimewa (dan bahkan, ‘wajib’ menganggap setiap anak istimewa untuk kemudian dididik sebaik mungkin). Jadi kalau saya merasa anak saya juga istimewa, insya Allah bukan riya atau ujub 🙂
Nah, ini cerita soal Reza (8 thn) yang sering bikin saya bersyukur, tapi sekaligus pusing, kesel, dan tak jarang ngomel panjang-pendek (duh, kapan tobatnya buuu..).
Perilaku Reza ini unik, antitesis dari banyak perilaku ‘wajar’. Dia mudah sekali marah (dan ini salah satu peer terbesar saya: melatihnya mengendalikan kemarahan). Saya sangat yakin, ini gara-gara saya waktu hamil pernah maraaaah..sekali sama suami. Ga pernah saya semarah itu dalam hidup saya. Tapi rasanya, memang waktu itu di luar kontrol. Penyebabnya sepele (jadi bukan masalah ‘perempuan lain’ lho ya, hiks), tapi saya benar-benar super sakit hati. Si Akang berkali-kali minta maaf, tapi saya gak bisa meredakan kemaarahan itu. Akhirnya, papi saya yang turun tangan, menelpon dan menenangkan saya.
Nah, padahal itu kejadian sekali saja. Tapi hwaaaa.. ternyata berbekas sekali pada Reza. Waktu kecil, masya Allah, Reza sering sekali tantrum (ngamuk). Alhamdulillah sekarang sudah lebih baik. [moral of the story: bapak2, kalau istrinya hamil, jaga baik-baik emosinya ya..]
Trus, dia memilih sendiri pangilan untuk saya: ummi. Ya ngga apa sih.. cuma aneh aja, beda sama kakaknya yang memanggil saya ‘mama’. Dan banyak sekali perilakunya yang beda sendiri; kemauannya keras, negosiator yang ga kenal kalah (kalau kalah debat, senjatanya: nangis ngamuk). Duh, beda sekali dengan kakaknya yang kalem, manis, dan penurut.
Yang paling bikin pusing: dia menolak sekolah. Bayangin, gimana pusingnya saya. Dibujuk-bujuk dengan berbagai cara, dia menolak. Walhasil, sekarang homeschooling. Nah, persoalan belum selesai. Dia menolak belajar sebagaimana yang ‘seharusnya’. Dia belajar dengan caranya sendiri. Jadi, kalau ditanya apa saja kegiatan Reza selama 24 jam, jawabnya: membaca, membaca, membaca, membaca, bikin origami, origami, origami (jadwal origaminya: 7 hari dalam sepekan), ngobrol, main.
Mungkin ada yang bilang: wah bagus dong, hobi membaca? Betul, saya bersyukur untuk itu. Tapi saya tetep ibu-ibu biasa yang galau banget melihatnya menolak belajar ‘normal’ : membaca buku pelajaran, mendiskusikannya, menjawab soal, dst. Yang dia baca adalah buku cerita. Anggaran saya tiap bulan cukup besar untuk membeli buku, karena dia membaca sangat cepat. Ujug-ujug sudah tamat lagi. Jadi, kalau saya belanja buku, bisa sekaligus 600-800 ribu rupiah (ini cukup untuk bacaan sekitar 2 bulan).

koleksi novel karya Rick Riordan Reza, sebagian masih di plastik (belum dibaca)
Perilaku Reza pun jadi terlihat beda: kemanapun dia pergi, selalu membawa buku. Bahkan hanya pergi makan pun (kadang saya ga sempet masak, jadi makan bareng aja di restoran kecil dekat rumah kami) dia membawa setumpuk buku. Segitu banyak bukunya yang belum selesai dibaca dia tetap merengek mampir ke Gramedia kalau bepergian.
Alasannya, “Buku itu teman setiaku. Satu-satunya teman kalau aku kesepian.”
(Jiaaah.. bahasanya juga udah ‘membuku’ banget…)
Dan bacaannya juga sangat beragam, mulai dari Doraemon, KKPK, komik sains terjemahan dari Korea, buku anak-anak karya penulis Indonesia (misal Dian Onasis, Ary Nilandari, Ali Muakhir, Benny Rhamdani, dll), Enid Blyton, sampai ke… buku-buku Rick Riordan *tepok jidat*. Saya sekarang sudah tidak bisa lagi melakukan apa yang pernah saya sampaikan di blog ini: kalau beli buku untuk anak, baca dulu, setelah yakin aman, baru dikasih ke anak. Ga keburu. Saya hanya bisa baca review dan kalau kelihatannya ‘aman’ ya sudahlah. Saya hanya ngecek, “Ada yang ‘jelek’ nggak di buku itu?” (Yang dimaksud ‘jelek’ : terkait masalah seksualitas; dalam konteks Reza: ada pacaran laki-laki&perempuan; ada gambar perempuan pakai baju ‘nggak bener’).
Baru-baru ini, saya menemukan bakatnya yang membuat saya takjub: Reza editor yang kritis. Dulu sih memang beberapa kali dia mampu menghubung-hubungkan beberapa bacaan yang mirip (sampai-sampai pernah bilang, kayaknya Enid Blyton meniru JK Rowling ya? Saya jawab: gak mungkin, kan Enid Blyton lebih duluan nulis dan sudah meninggal… saya lupa apa yang menyebabkan dia bilang demikian, tapi ada kejadian kecil yang sekilas mirip di karya keduanya, dan saya yakin itu hanya kebetulan belaka). Lalu, pernah dia membaca draft novel kakaknya dan memberikan masukan penting (ada nama tokoh yang salah tulis).
Tapi kemarin, saya bener-bener takjub. Jam 5 sore, dia membangunkan saya yang lagi tidur, lemes banget karena puasa. “Mi..mi.. aku tau ada buku yang nyontek buku ini!” Saya nggak terlalu perhatian karena ngantuk.
Setelah saya buka puasa dan seger lagi, barulah dia membombardir saya dengan penilaiannya atas buku X yang menurutnya nyontek buku Sapta Siaga (karya Enid Blyton yang sedang dibacanya). Dengan detil dia tunjukkan ke saya, di mana letak kemiripannya. Dia bukan hanya mendeteksi dari kemiripan kalimat (kalimat di buku X sudah diubah-ubah, jadi ga persis plek), tapi juga dari kemiripan plot. Saya nggak habis pikir, dari segitu banyak buku yang dibacanya, kok bisa ingat, di halaman mana kalimat di buku X yang mirip dengan buku Sapta Siaga ini.
Akhirnya, setelah menasehati kedua anak saya, supaya jangan meniru perilaku buruk (plagiat), saya pun merenung sendiri. Minimalnya ada dua hikmah di sini. Pertama, buat para ortu, ga perlulah terlalu berambisi anaknya jadi penulis (yang karyanya diterbitkan). Jangan terlalu ikut trend lah. Biasa saja, mengalir saja. Kalau anaknya memang bisa nulis untuk tujuan komersil (diterbitkan, dijual), ya alhamdulillah. Kalau enggak.. ya biar saja, jangan sampai membuat anak terbebani dan kemudian menghalalkan segala cara (termasuk plagiat). Yang penting adalah berlatih menulis, menuangkan isi pikiran dengan bahasa yang baik dan bisa dipahami pembaca. Ini modal besar dalam kehidupannya kelak.
Kedua, buat saya sendiri, alhamdulillah, akhirnya kelihatan bakat Reza di mana. Kayaknya dia memang cocok jadi editor. Bacaan yang sangat banyak adalah modal besar untuk menjadi editor. Kalau saja editor buku X dulu suka membaca Sapta Siaga, pastilah dia tahu bahwa buku X itu plagiasi. Tapi karena si editor ini ga baca Sapta Siaga, jadi lolos deh itu buku. Jadi, ya sudahlah, sementara ini, biar saja Reza kerjaannya membacaaaa.. terus. Kalau dia memang ga minat belajar akademis, mau gimana lagi. Dipaksa juga ga ada gunanya. Target saya, usia 11 atau 12 Reza ikut ujian paket A supaya punya ijazah SD, jadi mungkin setahun sebelumnya baru saya ‘paksa’ untuk belajar akademis. Sekarang ini, toh umurnya masih 8 tahun, biarlah dia melakukan yang diminatinya dulu, sepuas-puasnya: membaca.
Setiap anak istimewa, ga perlu dibandingkan dengan yang lain. Tugas ortu adalah menggali keistimewaannya itu, mengembangkannya dengan maksimal, supaya kelak dia mampu menghidupi dirinya sendiri dengan skillnya itu.