Saya terhenyak saat membaca sebuah berita. Seorang penulis yang sangat terkenal di Indonesia (tapi terkenal bukan karena karya tulisnya, melainkan karena status facebook-nya), mengadakan pelatihan menulis. Yang ikut hanya 10 orang. Yah, kalau mau dijustifikasi, memang lebih efektif melatih 10 orang daripada ratusan. Tapi, dalam ‘iklan’ pelatihan itu, tidak ditulis dibatasi 10 orang, dan kesannya ingin mencari sebanyak mungkin peserta.
Kenapa kok saya terhenyak? Karena, saya jadi ingat kejadian beberapa waktu lalu. Si penulis itu kan dari golongan ‘mereka’. Yah you know who lah. Itu lho, mereka yang berada dalam barisan besar pendukung media-media takfiri yang gemar sekali menyebarkan berita fitnah. (Oya, yang saya maksud “mereka” ini juga nggak satu ‘manhaj’, tapi akar ideologinya sama; untuk isu-isu tertentu, mereka saling bekerja sama dalam menyebarkan fitnah dan kebencian; untuk isu lain, di antara mereka pun saling cela).
Ceritanya, gara-gara ‘mereka’, dua acara saya di dua universitas dibatalkan. Mereka mengintimidasi panitia. Alasan mereka, saya dikhawatirkan menyebarkan aliran sesat. Padahal saya cuma mau bicara sebatas kapasitas saya, yaitu politik Timteng (terutama konflik Suriah) dan panitianya pun sudah tahu apa isi presentasi saya (si panitia ini pernah hadir di forum saya yang sebelumnya). Saya tahu, banyak dari ‘mereka’ itu yang dirugikan karena tulisan-tulisan saya soal Suriah (bahkan salah satunya, yang mengancam kekerasan fisik ke saya melalui blognya, ternyata dosen dan ‘ustad’ yang juga menggalang dana untuk Suriah).
Nah, mereka jadi susah dapat dukungan dana (kan jualan mereka jadi ga laku toh.. sebelumnya mereka keliling dari masjid ke masjid, kampus ke kampus untuk menyebarkan foto-foto dan film-film soal Suriah, lalu menggalang dana bantuan; sementara kerjaan saya membuktikan kepalsuan foto dan film itu). Sebenarnya, bukan saya satu-satunya yang mengungkap konflik Suriah, tapi kebetulan aja, saya yang jadi sasaran kebencian mereka.
Baiklah, batal. Saya gak rugi materi (toh kalau pun dapat honor, ga seberapa. Rizki dari Allah jauh lebih luas). Sedih? Ya iyalah, emang enak ‘dibungkam’?? Tapi ada hikmahnya juga. Saya jadi tahu rasanya ‘dibungkam’. Ah, betapa banyak penulis dan pembicara yang ‘dibungkam’ di negeri ini sepanjang sejarah, dengan berbagai alasan? Rasanya ‘sesuatu’ banget, ketika saya yang bukan siapa-siapa ini tiba-tiba masuk dalam barisan mereka.
Nah, tak lama kemudian, saya diundang lagi untuk bicara. Kali ini, bukan seminar, tapi pelatihan. Pelatihan metode pendidikan Quran untuk anak (ini ‘gara-gara’ saya nulis buku ini). Saya sebenarnya tak enak hati mengiyakan. Kuatir panitianya diintimidasi juga. Tapi kalau ditolak juga rasanya salah. Eh, beneran, panitia, ibu-ibu, ditelpon sana-sini, disuruh bubarin acara. Tapi saya salut pada ibu-ibu itu, gigih dan rasional sekali. Mereka tetap berkeras meneruskan acara. Tentu saja, saya dikasih pesan-pesan, meski secara halus: “Bu Dina ngajarnya benar-benar sesuai isi makalah kan? Ngga yang lain-lain kan?” Saya sedih sekali dalam hati. Tapi ya sudah mau gimana lagi.
Dan subhanallah, yang hadir sekitar 100 orang (mereka membayar, bukan gratisan). Ruangan aula penuh. Dan sebagian besar antusias, terlihat dari air mukanya. Dan usai pelatihan, semua menyalami saya dengan senyuman. Padahal, sungguh, saya memberikan pelatihan selama sekitar lima jam itu dengan hati galau dan sedih. Itu pertama kalinya saya memberikan pelatihan, sendirian, di depan segini banyak orang. Rasanya benar-benar bantuan Allah. Dia yang memampukan saya. Saya mencari ide benar-benar sambil jalan, bagaimana caranya supaya pelatihan itu gak membosankan, supaya ada joke (gurauan), karena pada dasarnya saya bukan pembicara yang ‘rame’ (apalagi kalau lagi galau).
Membaca berita tentang pelatihan yang dihadiri hanya 10 orang itu… saya jadi menghembuskan nafas berat. Memang kemuliaan itu ga akan tertukar. Saya nggak mulia-mulia amat sih, tapi insya Allah saya nggak memfitnah orang, nggak jelek-jelekin orang. Kalaupun saya bersuara keras soal Suriah (dan menyinggung hati mereka yang merasa paling ngislam itu), itu berdasarkan data dan fakta yang bisa ditelusuri kebenarannya. Dan perkembangan akhir-akhir ini juga membuktikan kebenaran yang saya tulis dulu. Mungkin bedanya, saya dulu nulis ketika opini publik masih terkooptasi media mainstream, sementara saya (dan sebenarnya, cukup banyak juga yang lain), menulis sesuatu yang anti mainstream.
Hikmah lainnya, yang mungkin bisa ditiru para penulis (yang membaca tulisan saya ini): jangan takut menulis yang anti mainstream, selama itu benar, didukung argumen dan data yang valid, serta didasari niat tulus; bukan kebencian. Akan keliatan kok, mana tulisan yang mengkritisi, mana tulisan yang sekedar nyinyir. (Misalnya isu yang hangat sekarang, soal subsidi BBM dan soal demo mahasiswa, yang mainstream sekarang kan : mendukung pencabutan subsidi, dan mencela-cela mahasiswa yang demo, atau mencela gerakan buruh).
Insya Allah, waktu akan mengungkap apapun kebenaran yang ditutup-tutupi media mainstream (dan kroco-kroconya).