Siang yang cukup terik, saya melangkahkan kaki dari Masjid Agung menuju Gedung Merdeka di jalan Asia Afrika Bandung. Saya diundang hadir dalam “Jamuan Teh Petang Bersama Para Saksi Sejarah KAA 1955”. Acara dimulai 13.30 (28/4/2015), masih banyak waktu, jadi saya jalan pelan-pelan. Saya tidak sempat datang ke jalan AA sebelum KAA meskipun banyak yang memuji-muji keindahannya di medsos. Sayang kini yang saya lewati sepertinya sudah berkurang keindahannya. Saya melewati monumen Asia Afrika yang sudah pitak di sana-sini (sebagian nama-nama negara di monumen itu dicabuti tangan-tangan jahil).
Bola-bola batu bertuliskan negara-negara KAA sudah tidak ada lagi benderanya (yang kata orang semula tertancap di atasnya). Bunga-bunga di pot banyak yang layu. Di medsos diberitakan kalau bunga-bunga itu rusak gara-gara diinjak warga. Tapi yang saya lihat, justru sepertinya gara-gara tidak dirawat Dinas Pertamanan. Misalnya pot gantung ini, kan tidak mungkin diinjak? Tapi bunganya layu tuh.
Kakak ipar saya cerita, 10 tahun yll, dia juga datang berfoto-foto di jalan AA. Suasana sangat indah karena sangat banyak bunga. Tapi zaman itu belum musim hp berkamera dan media sosial, jadi tidak seheboh sekarang. Bahkan kakak ipar nggak berfoto sama sekali. Namun, tiga hari pasca KAA semua bunga itu layu. Entah tidak dirawat, entah memang sejak awal ditanam secara kamuflase saja (bunga potong/bunga segar ditancepin ke pot).
Tapi saya tetap salut pada kang Emil. Selera arsitek memang beda ya. Kalau bunga-bunya bisa layu, lampu-lampu hias dan bangku-bangku insya Allah akan tahan lama. Di pinggir sungai Cikapundung sekarang juga ada Cikapundung Riverspot (bangku-bangku+meja dari besi merah), asyik buat kongkow-kongkow di sore hari. Sayang sungainya udah banyak sampah lagi. Ah intinya mah, kita ini masih jauuuuh kalau pingin jadi tertib kayak negara-negara maju. Ayo, para ortu, didik anak-anak kita baik-baik yuk, agar taat aturan, tertib, disiplin, dan punya sensitivitas menjaga lingkungan. Dan.. amanah!
Di jalanan yang panas, banyak juga orang yang berfoto-foto. Wah demam KAA belum habis rupanya.Saya ikutan mejeng juga deh 😀
Masih ada bazaar juga. Saya tergoda beli dua bahan batik warna pink *I’m a pink lover* yang dijual disc 50%, cuma Rp50.000 sehelai. Duh beruntung banget saya :D. Nama tokonya MAHABATIK, toko asli mereka di Paris van Java Mall.
Saya lalu masuk ke Gedung Merdeka.. wow, gorden-gorden merah terlihat mewah dan membuat semakin keren suasana gedung (saya sudah berkali-kali masuk sini, jadi bisa merasakan perbedaannya). Lalu, ketemu pak Thomas Siregar, Ketua Museum Konperensi Asia-Afrika (MKAA) yang ramah dan keren, beliau langsung menyuruh saya makan siang dulu. Oala, disediain makan siang tho… sayang saya udah terlanjur makan bareng suami dan anak-anak. Tapi saya tetap masuk ke ruang makan, dan… berjumpa dengan seseorang yang bikin kaget: jurnalis Suriah yang dulu pernah saya wawancarai! Di awal konflik Suriah, saya pernah posting wawancara dengannya dengan identitas disamarkan karena faktor keamanan. Wawancara itu saya publish di beberapa web dan fb, dan dishare sangat luas.. dan akibatnya you know lah, saya kan udah sering curhat di sini, hiks. Kali ini dia cerita lagi panjang lebar soal perkembangan Timteng. Dan… saya baru tau dia sebenarnya sudah bergelar profesor! Nanti kapan-kapan kalau ada waktu saya tuliskan isi perbincangan kami.
Setelah itu, acara pun dimulai. Wow, nggak nyesel sama sekali saya datang. Benar-benar inspiring! Secara bergantian beberapa saksi sejarah menceritakan kenangan mereka soal KAA 1955. Pembawa acara, Kang Asep Hambali, founder Komunitas Historia Indonesia, jadi moderator. Dia berkali-kali mengucapkan kalimat-kalimat yang bikin saya tercenung. Misalnya:
–Siapa yang punya lagu Indonesia Raya di HP-nya?
Waduh, iya ya.. Kirana punya banyak koleksi lagu Barat di hp-nya, tapi ga ada lagu nasional satupun, hwaaa… Reza, saya tidak yakin, dia hafal Pancasila dan lagu Indonesia Raya. Aduh, ibu macam apa aku ini, hiks..hiks.. Ayo, perbaiki diri!
Btw, luar biasa, ada dua peserta, anak muda, yang punya lagu itu di HP-nya, lalu diperdengarkan dan tepuk tangan membahana haru di ruangan bersejarah itu. Kata kang Asep, dia udah keliling Indonesia bicara di depan anak-anak muda, selalu mengajukan pertanyaan itu, dia jarang sekali menemukan ada anak muda yang menyimpan lagu Indonesia Raya di hp mereka.
–Apakah dengan merayakan 17 Agustusan dengan panjat pinang dan makan krupuk, kita jadi kenal sejarah dan para pahlawan kita?! Tidak! Mengapa kita tidak membuat lomba “kostum mirip pahlawan”, atau “menyanyikan lagu nasional”, “membaca teks proklamasi” ?
Hey, ini ide sangat menarik. Di acara hiburan, tampil grup musiknya Adew Habtsa yang memusikalisasi pidato-pidato Bung Karno dan Ali Sastroamijoyo (Perdana Menteri Indonesia penggagas KAA). Seorang dari mereka membacakan kutipan teks pidato BK dan AS dengan suara menggelegar, menirukan gaya BK dan AS, mantap abis deh! Nah, bayangkan kalau anak-anak kita dilatih baca teks proklamasi atau kutipan pidato BK sehebat ini. Mantaaaap!
–Apa akibatnya kalau kita lupa sejarah bangsa? Bayangkan kalau Bapak-Ibu tiba-tiba amnesia. Lupa anak, keluarga, rumah, kerjaan..lupa segala. Akibatnya, Bapak-Ibu pasti akan nurut saja pada instruksi dari saya!
Hwaaa..benar juga! Tak heran kalau Kundera pernah berkata “Perjuangan Manusia Melawan Kekuasaan Adalah Perjuangan Melawan Lupa” Dia juga pernah menulis begini:
–Bung Karno dan Bung Hatta baru dinobatkan jadi Pahlawan Nasional tahun 2012. Bangsa macam apa kita ini?!!!
Di sesi berikutnya, sejarawan JJ Rizal berorasi tentang Perdana Menteri RI pada 1955, Ali Sastroamijoyo, arsitek utama Konperensi Asia Afrika 1955. Dia menjelaskan dengan rinci pemikiran-pemikiran Ali Sastro yang akhirnya bermuara pada gagasan menggelar KAA 1955. Luar biasa sekali pemikiran beliau, saya baru tersadarkan, mudah-mudahan bisa saya tuliskan lain waktu. Intinya sih: pemikiran Bung Karno & pak Ali adalah “internasionalisme” dan “marhaenisme”, dan itulah ruh utama KAA 1955. Dan hasil perenungan saya sekilas, “internasionalisme KAA” adalah antitesis dari globalisasi… (ehm, ini kayaknya agak berat, nanti aja ditulis untuk blog Kajian Timur Tengah ya).
JJ Rizal juga mempertanyakan, mengapa yang disebut-sebut orang Indonesia cuma Sukarno, padahal pemikiran Ali sangat klop dengan Sukarno, dan bahkan Ali-lah pelaksana berbagai pemikiran/idealisme Sukarno. Sampai hari ini Ali Sastroamijoyo belum dinobatkan jadi pahlawan nasional.
Sayang saya harus segera pulang, padahal ingin juga menyaksikan orasi JJ Rizal sampai akhir dan dialog setelahnya. Di luar gedung MKAA, orang-orang yang berfoto-foto lebih banyak lagi daripada siang tadi. Di kereta, dalam perjalanan pulang, saya merancang janji, akan lebih banyak mengajak anak-anak saya mempelajari sejarah bangsa ini.