Beberapa tahun yang lalu, seorang teman yang tinggal di AS (Amerika Serikat) mengirim bingkisan kepada kami di Teheran. Sebelumnya, saya juga mengirim buku kepada sang teman. Waktu saya kirim buku, rasanya biasa saja. Tapi saat menerima bingkisan balasan darinya, rasanya luar biasa. Wow. AS-Iran ternyata bisa juga ya, kirim-kiriman hadiah? 🙂
Salah satu isi bingkisan dari teman baik saya itu adalah buku cerita anak berjudul “The Little Engine That Could”. Buku ini terkenal banget, terbit tahun 1930 dan sepertinya terus dicetak ulang sampai sekarang. Ceritanya tentang kereta api biru yang berjuang keras untuk naik ke bukit dengan mengulang-ulang kalimat “I think I can, I think I can…” Saya membacakannya berulang-ulang pada anak-anak saya, dengan rasa cinta. Apalagi buku itu ada coretan-coretan tangan anak-anak teman saya itu (memang itu bukan buku baru keluar dari toko), rasanya semacam ada bonding dan cinta yang menyeruak di sela-sela halamannya.
Dan.. bertahun-tahun kemudian, saya menemukan kesempatan untuk mengulang-ulang mantra sang kereta api biru. Saya dan anak-anak mendaki puncak Sikunir (Dieng) pada pagi-pagi buta, sehabis sholat Subuh. Saya sendiri bukan pendaki gunung (dan sebenarnya malas sekali beraktivitas fisik yang merepotkan). Tapi saya ingin mencoba mengajari anak spirit pantang menyerah. Dan mendaki gunung memang cara terbaik untuk mengajari anak hal tersebut, selain juga kepercayaan diri bahwa “Aku bisa!” Sekali mulai mendaki, harus sampai ke puncak. Sebelumnya, Rana dan Reza sudah berhasil mencapai puncak gunung Geulis di Jatinangor tapi saya ga ikut.
Awalnya, rasa dingin benar-benar mengganggu. Saya sampai harus beli kupluk untuk anak-anak, plus sarung tangan. Sepanjang pendakian, dengan terengah-engah, saya terus ucapkan, “Ayo Reza, pasti bisa!” Kami terpisah dari rombongan yang berjalan lebih cepat. Maklum, saya sendiri lambat berjalan, harus terus menyemangati Reza pula. Kirana, karena sudah besar, ga perlu lagi dibujuk-bujuk. Dia jalan terus dengan tegap, tanpa mengeluh. I’m proud of you, girl!
Dan ketika akhirnya sampai ke puncak, wow… bahagia sekali rasanya. Memang sayangnya, awan mendung menghalangi sehingga keindahan matahari terbit yang diidam-idamkan tak terlihat. Setelah itu, kami juga langsung turun melewati jalur yang sama. Sayangnya ga ada pemandu yang memberi tahu kami bahwa sebenarnya dalam perjalanan turun, ada pemandangan indah yang bisa dilihat dari puncak Sikunir ini, yaitu Telaga Cebong.
Tapi ya tak apalah, toh misi utama sudah dicapai: menaklukkan puncak pegunungan Dieng. Dan saya melihat banyak sekali orang memasang tenda di seputar Telaga Cebong, saya langsung bertekad, suatu saat akan kembali ke sini full team, bersama si Akang, dan camping di sini. 🙂 Selain ke Puncak Sikunir, kami juga mengunjungi tempat-tempat wisata ‘wajib’ lainnya di Dieng, seperti Telaga Warna, Telaga Menjer, dan Kompleks Candi Arjuna. Senengnya, saya nemu buah Terong Belanda banyak banget yang jual di sini, terutama di Desa Sembungan (di starting point kalau mau mendaki ke ke Puncak Sikunir, ini desa tertinggi di Pulau Jawa lho, wow banget dong). Saya borong banyak-banyak deh. Di desa ini saya banyak melihat pohon pepaya tapi buahnya mini. Ternyata itu pohon carica namanya, dan manisan carica adalah oleh-oleh khas Wonosobo. Rasanya seger banget. Saya jadi kangen banget ih sama carica.
Oiya, kami ke Dieng ini ikut trip backpacker yang dikoordinatori mba Yayah (kenal di FB). Rombongan (sekitar 40-an ibu-ibu&gadis-gadis, dan beberapa anak) yang datang dari berbagai kota di Indonesia, berkumpul di Terminal Mendolo Wonosobo. Kami tiba jam 3 dini hari, padahal jam ngumpul adalah jam 8 pagi. Jadi, untuk pertama kalinya dalam hidup, kami duduk dan tidur-tiduran di bangku terminal menunggu pagi (untungnya terminalnya bersih dan aman). Beneran backpackeran ini mah. Untung anak-anak santai aja, nggak mengeluh. Setelah fajar datang, karena menunggu jam 8 masih lama, saya dan anak-anak naik angkot ke alun-alun Wonosobo cari sarapan. Asyik juga sarapan pagi-pagi di situ, sambil menatap alun-alun yang asri. Ada beringin besar-besar. Ada gereja dan masjid yang berdampingan di sini, seolah menyimbolkan kedamaian kota. Kirana sampai-sampai bilang ingin pindah saja ke Wonosobo yang resik dan asri ini.
Hm, misi Dieng sudah terlaksana pada 19 Oktober 2014. Sayangnya, meski kini sudah berlalu 6 bulan, niat saya untuk kembali ke Dieng full team, naik mobil sendiri dan kemping di sana, masih belum kesampaian. Padahal, sebelumnya sudah ada niat mau ke Bromo full team juga (setelah dulu ke Bromo sendirian bulan bulan Maret 2013, bareng Muslimah Backpacker). Wah… kebanyakan niat ini mah. Ga tau kapan terlaksana. Sekarang ditulis dulu, buat kenang-kenangan. 🙂
Ni Dina, terharu deh jadinya. Si buku in shaa’ ALlaah jd ama jariah, digunakan oleh si sulung sampai si bungsu.
Amiiin… trmkasih banyak ya teh Ria 🙂
saya suka ini:
semua memang bermula dari pikiran. mindset.
setuju.. trmkasih sudah mampir:)
keren mbak.
salam buat anak2 ^^
terimakasih mba Susie 🙂