Insya Allah, pandeminya sebentar lagi selesai, tapi ini ilmunya tetap bisa dipakai sepanjang masa, terutama buat saya sendiri. Saya menulis ini terinspirasi dari Nurul Arifin.
Nurul bilang (saat diwawancara wartawan setelah kematian putrinya), “…kalau saya melihat, pandemi ini juga membawa satu akibat ya, banyak orang frustasi karena ga bisa bergaul bebas, mau berinteraksi sulit, hubungannya lewat Zoom… Mungkin anak saya salah satu korban dari ini semua, jadi rasa frustasi, menjadi asosial, yang biasa berkumpul dengan teman-temannya jadi sulit…” [1]
Saya juga menghadapi kesulitan selama masa pandemi ini karena anak saya yang tertekan akibat BDR (belajar di rumah). Dia selama SD homeschooling, jadi minggu-minggu awal BDR [kelas 2 SMP] masih biasa saja. Tapi lama-lama muncul masalah. Dia ada di masa pubertas, sedang senang-senangnya berkegiatan di sekolah, tapi tiba-tiba dirumahkan.
Awalnya saya saya pikir, kami ini sudah cukup baik jadi ortu, kami memenuhi semua permintaan anak-anak, berusaha mencukupkan semua fasilitas supaya mereka tetap nyaman belajar. Tapi, karakteristik anak itu beda-beda. Ada yang tidak punya fasilitas mendambakan fasilitas. Ada yang dilimpahi fasilitas, eh, malah merasa terbebani, karena seolah “ditagih” untuk berkarya, padahal kami mendorong anak berkarya adalah supaya hari-harinya penuh aktivitas bermanfaat.
Continue reading