Parenting di Masa Pandemi


Insya Allah, pandeminya sebentar lagi selesai, tapi ini ilmunya tetap bisa dipakai sepanjang masa, terutama buat saya sendiri. Saya menulis ini terinspirasi dari Nurul Arifin.

Nurul bilang (saat diwawancara wartawan setelah kematian putrinya), “…kalau saya melihat, pandemi ini juga membawa satu akibat ya, banyak orang frustasi karena ga bisa bergaul bebas, mau berinteraksi sulit, hubungannya lewat Zoom… Mungkin anak saya salah satu korban dari ini semua, jadi rasa frustasi, menjadi asosial, yang biasa berkumpul dengan teman-temannya jadi sulit…” [1]

Saya juga menghadapi kesulitan selama masa pandemi ini karena anak saya yang tertekan akibat BDR (belajar di rumah). Dia selama SD homeschooling, jadi minggu-minggu awal BDR [kelas 2 SMP] masih biasa saja. Tapi lama-lama muncul masalah. Dia ada di masa pubertas, sedang senang-senangnya berkegiatan di sekolah, tapi tiba-tiba dirumahkan.

Awalnya saya saya pikir, kami ini sudah cukup baik jadi ortu, kami memenuhi semua permintaan anak-anak, berusaha mencukupkan semua fasilitas supaya mereka tetap nyaman belajar. Tapi, karakteristik anak itu beda-beda. Ada yang tidak punya fasilitas mendambakan fasilitas. Ada yang dilimpahi fasilitas, eh, malah merasa terbebani, karena seolah “ditagih” untuk berkarya, padahal kami mendorong anak berkarya adalah supaya hari-harinya penuh aktivitas bermanfaat.

Continue reading

Suatu Hari di Bulan Januari

Karena ada kerjaan di “kota” (kami tinggal di pinggiran), dan tanggung kalau pulang ke rumah karena besoknya musti ke kota lagi, saya dan suami menginap di sebuah hotel di Dago (Bandung). Kampus saya dulu (S2-S3) di Dago. Jadi, kawasan ini penuh kenangan buat saya.

Sayangnya, kenangan saya atas kawasan ini adalah kegalauan. Kuliahnya sih happy banget, dosen-dosen yang baik hati, teman-teman kuliah yang menyenangkan.Tapi… saya waktu itu banyak beban pikiran soal anak-anak, yang ketika itu masih kecil. Sering mereka hanya berdua di rumah. Kadang memang ada tetangga saya yang menemani.

Si Akang waktu itu lebih sering di Jakarta (karena kerja di sana) daripada di rumah. Saya sering pulang naik angkot menuju stasiun kereta dengan penuh rasa cemas. Takut ketinggalan kereta (yang artinya, semakin lama bisa sampai di rumah).

Sementara itu, si Akang pernah melalui masa kuliah S2 di Dago juga dan saat itu kehidupan kami masih tidak jelas. Banyak beban pikiran karena blio kan kepala keluarga. Dulu banget, blio pernah melalui dua tahun masa kuliah S1-nya di kawasan ini dalam kondisi sangat sulit ekonomi, bahkan pernah sampai tidak makan tiga hari. Intinya, buat kami, kawasan ini memang sesuatu banget.

Nah, sore itu, kami memutuskan jalan-jalan di jalanan yang sering kami lalu di masa-masa kuliah dulu. Benar-benar jalan-jalan, tidak sekedar lewat dengan tergesa seperti biasanya.

Kami menyusuri jalanan kenangan sambil berbicara soal masa lalu. Yang kami lakukan adalah memaknai ulang masa lalu itu. Rumusnya: tragedi + waktu = komedi. Jadi, keresahan dan kesulitan di masa lalu, seiring dengan waktu yang telah berlalu, sebenarnya bisa ditertawakan. Tertawakan saja dan lepaskan.

Dan benar saja, saya malah tertawa mengingat momen-momen sulit di masa lalu. Alhamdulillah semua bisa terlalui. Saya bersyukur bahwa kini saya kembali melewati jalanan ini dengan kondisi yang jauh lebih baik, lebih dewasa, lebih tenang.

Dua tahun terakhir, memang ada banyak kesuraman yang dilalui. Tapi sore itu, jalanan ramai dan suasana terasa riang. Toko fotokopian kembali ramai oleh mahasiswa. Kios, kafe, dan warung semarak oleh pengunjung.

Life goes on.

video

Catatan Menyambut Tahun Baru 2022

Malam tahun baru, menjelang 1 Januari 2022, kami melewatinya di rumah saja. Bakar jagung dan memanggang sosis di atas kompor gas, bukan di atas arang. Minumannya ramuan 131, biar tubuh lebih segar dan setrong melawan virus. Rana menulis resolusi tahun baru di bukunya, berdiskusi dengan Papa. Reza menolak membincangkan resolusinya, ya sudah ga apa-apa. Saya juga ga punya resolusi apa-apa, tapi bertekad memanfaatkan waktu sebaik mungkin di masa-masa mendatang.

Alhamdulillah, kami bisa menyaksikan keramaian kembang api dari lantai dua rumah kami. Alhamdulillah, karena ‘perjuangan’ membangun 2 ruangan tambahan di lantai dua itu buat kami “sesuatu” banget. Dan kini kami untuk pertama kalinya, duduk di sana, menikmati pesta kembang api. Meski kucing kesayangan kami, Grey, jadi meringkuk ketakutan.

Malam ini, sambil menanti jam 12 malam, saya mengulang-ulang beberapa bagian dari buku “Berani Tidak Disukai” (Ichiro Kishimi & Fumitake Koga). Saya kutip di sini salah satu bagian yang menarik (meski semuanya sangat menarik, buat saya).

Continue reading

Catatan Akhir Tahun 2021

Awal tahun 2021 (dulu) kami mulai dengan optimis. Kami menyengaja pergi ke hotel, menyusun bersama resolusi dan life book. Tapi banyak sekali rencana yang tidak tercapai, bahkan banyak cerita sedih yang kami alami. Hanya saja, saya memang memilih tidak menceritakan hal yang sedih-sedih di medsos. Biar saja disimpan dan didoakan dalam hati. Di saat yang sama, sebenarnya banyaaak… sekali kebahagiaan yang kami terima. Tapi, ya cuma sesekali saja saya ceritakan di facebook. Seharusnya disimpan juga di sini, karena facebook sangat rentan diblokir, tapi sayang belum sempat juga.

Kali ini, saya memaksakan diri menulis, agak panjang, sekedar sebagai kenang-kenangan. Mungkin suatu hari akan dibaca oleh anak-anak saya kalau saya sudah ‘pergi’. Tahun 2021 saya semakin memahami, di mana akar kesalahan dalam penanganan pandemi ini, tapi sedihnya, apa yang diketahui tidak bisa semaunya diceritakan, ada banyak yang harus disimpan saja. Kalaupun ada yang bisa disampaikan, yang diterima justru tanggapan tidak enak, dari mereka yang merasa tahu – padahal tidak tahu – bahkan sekedar level dasarnya pun tak tahu. Merasa tahu, padahal tidak tahu. Illusion of knowledge.

Continue reading

Penjelasan tentang Mindfulness yang Beda Banget

Alhamdulillah, hari ini dapat rezeki, sebuah video muncul begitu saja di bar kanan, saat menonton video yang lain. Tentang mindfulness, sesuatu yang saya rasa saya sudah paham. Ternyata, penjelasan dari Dr. Shapiro ini bedaaa.. banget.

Kata kunci yang penting diingat selalu “apa yang kamu latihkan, itulah yang akan tumbuh lebih kuat”

Ini catatan dari saya, untuk diri saya sendiri:

-kalau saya latihan untuk A (sesuatu skill yang perlu sekali saya kuasai), saya akan semakin bisa melakukan A

-kalau saya latihan untuk selalu optimis, saya akan jadi pribadi yang optimis

-kalau saya latihan untuk diam (sabar, memandang dengan compassion) terhadap perilaku menjengkelkan dari orang lain, saya akan jadi pribadi yang sabar dan compassionate

-kalau saya latihan fokus dalam menulis, saya akan semakin mampu fokus (tidak mudah terdistraksi lagi sehingga buku-buku yang perlu sekali saya selesaikan, segera selesai).

dst.

Kata kunci kedua adalah mindfulness adalah memperhatikan/fokus kepada sesuatu dengan kebaikan hati, dengan rasa kasih sayang.

Gulai Ayam Daun Mangkokan

Masakan yang satu ini kenangan masa kecil saya. Lamaaa sekali saya mengimpikannya. Waktu itu saya masih SD, lalu datang ke rumah adiknya nenek dari pihak ibu, bersama-sama kerabat yang lain, kalau tidak salah dalam rangka liburan. Kalau saya tidak salah juga (sudah lama banget soalnya), itu terjadi ketika saya dan ortu masih berdomisili di Semarang. Rumahnya adiknya-nenek (alm) itu di kota Payakumbuh, sekitar 3 jam dari Padang.

Nah, beliau (alm) menyediakan masakan itu, gulai ayam dengan irisan daun mangkokan. Rasanya enak banget. Sampai puluhan tahun, sampai usia saya sekarang 46 tahun, masih teringat enaknya. Saya baru sekali makan gulai seperti itu dan tidak pernah lagi.

Continue reading

Persentase Sisa Hidup Kita

Tadi pagi, seperti biasa sejak tahun baru 2021, kami usai sholat Subuh berjamaah melatih diri mengucapkan syukur dengan detil.

Reza dengan terkantuk-kantuk, terdiam lama.

“Kok diam?”

“Iya, sedang mikir”

“Terima kasih ya Allah.. kemarin aku bisa makan…” kata Reza, lalu terdiam lagi.

“Apa lagi?”

“Hmm.. aku bersyukur atas hal-hal mainstream lainnya.”

Frasa yang lucu sekali, tapi bikin saya mikir. Terkadang terasa sulit untuk mendetilkan apa saja yang harus disyukuri, karena terasa “mainstream”, terasa biasa saja. Tapi bahkan hidup yang terasa mainstream itu pun perlu disyukuri.

Continue reading

Memulai 2021 dengan Menyusun “Buku Kehidupan”

Beberapa hari menjelang pergantian tahun 2020-2021, saya menemukan sebuah video di Mindvalley mengenai Lifebook (buku kehidupan). Saya lalu mengikuti semacam kelas pengantarnya (free), dengan cara mendaftar, lalu dikasih link ke video 1 jam (hanya bisa ditonton pada waktu tertentu yang kita pilih saat mendaftar). Sebenarnya bila ingin ideal, perlu ikut kelasnya, dipandu oleh dua penyusun konsep Lifebook, Jon & Missy Butcher. Tapi, saya merasa cukuplah menangkap esensinya saja lalu mengadaptasinya. Saya obrolkan bersama si Akang, dan kami sepakat untuk mempraktikkannya sekeluarga. Saya share di sini, siapa tahu berguna buat pembaca bog ini. 

Esensi penyusunan “Buku Kehidupan” ini berbeda dengan resolusi tahun baru seperti yang banyak dilakukan orang. “Buku kehidupan” merupakan penyusunan blue print atau desain kehidupan yang kita inginkan. Dimulai dari menemukan visi kehidupan. Apa sih yang ingin dicapai di akhir hidup kita? Mau mati dengan kondisi seperti apa? Setelah itu ketemu, kita mengidentifikasi apa saja langkah yang perlu dilakukan untuk mencapai visi tersebut.

Continue reading

Kafe yang Hening

Kafe ini biasanya penuh dengan para mahasiswa yang ceria. Tertawa terbahak-bahak sambil bermain berbagai jenis game yang disediakan. Sebagian membawa laptopnya, berpacu dengan waktu, menyelesaikan tugas-tugas.

Tapi sore ini begitu sepi. Dari sekian banyak kursi yang tersedia, hanya ada kami.

Entah di mana para mahasiswa itu sekarang. Mungkin di rumahnya masing-masing. Ada yang terpaksa pulang ke pelosok negeri, berjibaku mencari sinyal saat kuliah online akan dimulai.

Sedih sekali rasanya. Rindu mendengar suara tawa terbahak-bahak mereka.

Lagu yang diperdengarkan pun terasa sendu.

Tak terasa pandemi sudah berlangsung setahun.

Tahun sudah berganti tapi harapan masih suram. “Mereka” masih berkata dengan jumawa. Setahun lagi. Dua tahun lagi. Entah sampai kapan.

Orang- orang bertahan dengan caranya masing-masing. Sebagian mungkin berdoa dalam diam, semoga mereka yang berpesta-pora memanfaatkan pandemi ini, yang kekayaannya menjadi berlipat-lipat tanpa peduli dengan begitu banyak manusia yang terhempas, segera menemukan karmanya.

Duduk di kafe ini dengan perasaan sendu. Sambil menulis tentang bagaimana dunia ini bekerja. Semoga saja ada gunanya untuk peradaban.

Sambil memesan makanan dengan nominal sangat tak seberapa. Semoga saja ada sedikit dampaknya, agar ekonomi bisa tetap berputar. Semoga kafe ini tetap bertahan, menyambut gelak tawa para mahasiswa yang akan datang lagi, segera, semoga…

Selamat tahun baru 2021.

Tetaplah optimis, karena Allah berjanji tidak akan menguji manusia di luar batas kemampuannya.

Merayakan Hari Ibu 22 Desember 2020

Hari ibu tahun ini kami rayakan dengan cara berbeda: jalan-jalan ke Pangandaran. Sebenarnya tujuan utama memang ingin refreshing. Saya dan si Akang ingin menghibur anak-anak (dan diri kami sendiri) yang sudah nyaris setahun “dirumahkan”. Alhamdulillah anak-anak tetap baik dan mampu bertahan. Masalah tentu saja ada. Omelan, kemarahan, tangisan, ada saja. Sama seperti orang tua lain (umumnya), saya juga tertekan melihat anak-anak yang apatis, main HP, rebahan, tidur melulu. Saat diajak beraktivitas, karena cara komunikasi saya yang salah, jadinya malah berantem. Tapi 9-10 bulan ini (sejak Maret) adalah masa kami untuk reorientasi segala hal. Mempelajari banyak hal baru.

Bulan Desember ini kami juga hectic banget: Rana dengan tugas kuliahnya, saya dengan sejumlah deadline kerjaan, termasuk penerbitan Jurnal ICMES, dan si Akang dengan segala aktivitasnya. Jadi rasanya emang perlu jalan-jalan.

Continue reading